Hai, kamu!
Si lelaki dalam hujan yang padamu aku titipkan hela
napasku, selamat bertambah usia.
Semoga tetap kau genggam tanggan kecilku, semoga aku tetap mampu menghangatkanmu.
Semoga kau tetap percaya, di setiap rintik hujan yang menyelimutimu, ada hatiku disana. Aku mencintaimu Ayah.
Semoga tetap kau genggam tanggan kecilku, semoga aku tetap mampu menghangatkanmu.
Semoga kau tetap percaya, di setiap rintik hujan yang menyelimutimu, ada hatiku disana. Aku mencintaimu Ayah.
Lekat di ingatan caraku membaca hujan di mataku dan keresahan-keresahan itu. Sejauh-jauh pandang bisa kita dekatkan. Ayah, ketika kau mengitari jalan dan kau dapati luka yang beragam, bagilah denganku. Percayalah, aku tidak hanya bisa menjadi teman cerita yang menyenangkan dan menyebalkan. Lebih dari itu, aku ingin melengkapimu. Karena musim akan puisi ketika ada aroma kehangatan yang memeluki.
Selanjutnya
menunggu adalah perkara paling susah setelah tabah. Tetapi mengingatmu adalah
selaksa dekap yang membuat rindu tatap menatap. Di situ aku ingin menjadi sebab
yang diantar waktu, yang layar ke hatimu, yang duduk bersisian denganmu, yang
rebah ke pundakmu. Kita akan saling mendengar kabar debar, yang bergandengan meyakinkan; kau-aku tak pernah sendirian.
Maka, rasakanlah
harum hujan yang memenuhi kota, yang saling bertaut menyemburkan tiap-tiap
rintiknya. Lalu rumput-rumput di pekarangan yang berkilauan, nyanyian dedaunan
yang sampai pada ilalang. Mengantarkan rindu ke alamat yang ditujunya. Kau
bahkan akan menemukan aku di sana, menjadi yang paling bahagia menyambut dua
puluh delapan di bulan oktober.
Selamat hari kelahiran Ayah,
Aku merindukanmu. Sangat. Sungguh. Benar-benar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar