Aku adalah Semesta, tempat berkumpulnya segala yang ada di jagat
raya. Aku penyambung cerita, saya pula yang menyaksikan mereka. Dari yang
bertemu, bersama hingga berpisah. Dari yang berduka lara, ceria dan berbahagia.
Segalanya.
Aku adalah Semesta, si penyambung cerita.
Mari, ikut bersamaku untuk menyelami
kisah dua anak manusia ini.
Kuharap kau tidak terlalu terlena dengan alur yang
akan aku buat nantinya.
Kisah mereka akan saya sajikan secara
runtun perlahan-lahan mulai dari saat ini hingga nanti, selamat menikmati.
Hati-hati terhadap pikiran dan perasaanmu.
Yogyakarta, di sabtu senja
Begini, siang tadi aku berada
di taman salah satu universitas di Yogyakarta. Sedang asyik menikmati
nyanyian merdu burung nuri, yang mungkin saja mengganggu aktivitas kawula muda
di hari ini.
Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Ada yang berteriak lantang bersama gerombolannya, ada yang tertawa
terbahak-bahak, dan ada pula yang terjebak dalam dunianya sendiri. Sebentar,
ini menarik sepertinya. Ketika yang lain sibuk dengan hingar bingar dunia
perkampusan, lelaki yang mengenakan kacamata dan kemeja yang dilinting hingga
siku itu memilih untuk menyendiri.
Samar aku mendengar lirik lagu
yang terputar pada ipod miliknya -Won’t lay down our heads till the day is
won. Won’t stop running till we reach the sun- ia seolah terbawa dalam
pusaran makna syair lagu tersebut. Terjerat pada kedalaman pemikiran yang
sepertinya seringkali menyiksanya sendiri.
Entahlah, aku baru saja
mengamatinya, hari ini. Matanya memandang sekeliling, sesekali senyum
mengembang di wajahnya ketika bersitatap dengan orang yang dia kenal. Ah,
nampaknya dia mudah bergaul dengan siapapun, tapi mengapa dia sendiri? Satu
pertanyaan tercipta dan nanti akan aku temukan jawabannya, pasti.
Aku menyadari tatapan lelaki
itu berhenti, aku mengejar arah pandangannya. Tatapannya berhenti pada seorang
wanita yang sedang asik bergumul dengan sketchbook yang dia bawa. Dia
menorehkan beragam warna disana, entah apa yang dia gambar, namun ia seolah
tenggelam pada ayunan yang sedang ia cipta sendiri. Manis, itu yang bisa
kugambarkan ketika melihat wanita ini, terlebih ketika angin menggoyangkan
rambut pendek sebahunya.
“Mars, udah jam 4 nih. Kamu ngga
pulang?“
Sontak aku berhenti memandangi
wanita tadi, pandanganku kembali beralih pada lelaki yang menarik perhatianku
tadi. Sapaan seorang teman membuatnya terbangun dari tidur sesaatnya. Rupanya
ketika aku mengamati wanita tadi, lelaki itu sudah terlebih dahulu tertidur.
Ia hanya mengangguk pada
lelaki yang menyapanya tadi, seraya melirik pada jam tangan yang ia pakai.
Tak lama
setelah itu, ia segera beranjak dari taman ini. Melangkah pergi dengan tas
ransel yang menyampir pada salah satu lengannya. Sebelum melangkah, matanya
kembali menelusuri taman, mencari jawaban lalu berlalu seolah tak peduli pada
apa yang dia temukan.
Sedang wanita tadi, ia sedang
sibuk mengemasi sketchbook-nya, lalu terburu-buru pergi berlari ke arah
perpustakaan. Sepertinya dia hendak mencari buku guna membantunya menyelesaikan
tugas.
Lengang. Suasana kembali sepi
seperti awal, dan kini hanya menyisakan aku dan sinar mentari yang mulai
beranjak dari peraduannya. Namun sayangnya, mataku masih tetap ingin mengawasi
kedua anak manusia ini. Mereka seperti dua kutub magnet yang berlawanan,
berbeda, namun aku menemukan beragam persamaan. Tapi aku yakin mereka bisa
saling tarik-menarik, nanti, bukan saat ini. Tunggu saja kalau kau tak percaya.
Semesta sepertinya akan ikut ambil andil dalam hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar