Kamis, 19 Maret 2015

Aku Ada






 Pesan ini akan tiba padamu, entah dengan cara apa. 
Bahasa yang ku tahu kini hanyalah perasaan.
  Aku memandangimu tanpa perlu menatap.
  Aku mendengarmu tanpa perlu alat.
  Aku menemuimu tanpa perlu hadir.
  Aku mencintaimu tanpa perlu apa-apa, karena kini ku miliki segalanya.


       Ku pandangi langkahmu yang ringan dan tampak seperti melayang, berjalan dengan irama konstan. Engkau tak seperti orang yang berjalan di atas pasir, yang kebanyakan tampak berat dan canggung. Barangkali karena telah ratusan kali kau lakukan itu; menyendiri di tepi pantai, menyusuri garisnya seperti merunut urat laut. Tapak kakimu sudah tahu bagaimana bersahabat dengan pasir yang kadang menggembung dan kadang mengempis dimainkan napas ombak.

     Matamu mencari bola merah yang disembunyikan arakan awan mendung.
  Sesekali kau buang pandangan ke arah lain, sekedar meyakinkan kau tak sendiri di dunia ini, karena seringnya engkau berharap demikian. Sesekali pula kau buang pandangan ke belahan langit di bahu kananmu, yang berwarna-warni antara ungu, biru, dan abu-abu, yang menggetarkanmu sama hebatnya dengan bola merah yang kau telisik sejak tadi.

      Pesanku itu akan tiba padamu, batinku. Namun entah dengan cara apa.

   Seseorang tampak berlari menyusulmu, meneriakkan namamu keras-keras hingga kau tak punya pilihan lain selain menoleh. Seketika wajahmu berubah, rona yang ku hafal dan tak ku sangka akan kembali lagi. Aku ingin meneriakkan bahagia ini, tapi entah dengan cara apa. Perlahan ku lihat awan mendung bergeser, menyeruakkan mentari yang kau cari. Dan ku lihat engkau kian berseri. Senjamu kian sempurna. Dia, yang kau cinta, tampak berkilau disiram cahaya jingga.
 

       Kalian berdua menghambur, mendekat erat satu sama lain hingga kakimu melayang di udara. Rasa hangat ketika dua tubuh bertemu, rasa lengkap ketika dua jiwa mendekat, rasa rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata menatap. Aku merasakannya. Entah mengapa aku bisa.

       Lelaki itu bertanya, kapan engkau pulang. Ia sudah menyiapkan makan malam, lengkap dengan lilin aromaterapi dan servis relaksasi melalui jemarinya yang apik. Matamu berbinar, memantulkan semburat jingga di langit dan semburat cinta di langit hatimu. Namun kepalamu menggeleng dan kau berkata: sebentar lagi. Kau masih ingin di sana, menunggu hingga senja tamat ditutup malam. Lelaki itu mengangguk mantap. Ia tahu ke mana hatimu berlabuh, dan ke mana sesekali hatimu berlayar. Ia menengadah ke atas untuk menemukan bulan pucat yang sejenak lagi benderang dan menyinari langkahmu pulang. Ia lalu berbalik setelah mengecupmu di kening.

        Kau menunggu punggungnya kabur dari pandangan sebelum kembali melanjutkan langkah-langkahmu di atas pasir. Perjalananmu di batas dua dunia. Cerah senja di kiri da redup malam di kanan. Dan aku memandangi sapuan ombak yang menghapus segala jejak, kecuali milikmu karena tinggal kau yang terus melangkah. Tak ada jejakku di sampingmu. Tak ada siapa-siapa. Namun aku merasa kita melangkah bersama. Entah bagaimana bisa begitu.

      Sudah jarang ku lihat kau menangis, tapi matamu terus bertanya. bahasaku yang cuma rasa susah melekat pada kata, tapi aku tahu apa yang kau tanya, dan aku tahu apa jawabannya. Tinggal cara yang masih menjaga rahasia.
         Di titik yang selalu sama, tempat karang kecil yang menggunduk sedemikian rupa hingga pas diduduki satu orang saja, langkahmu berhenti. Kau duduk menghadap lautan, memandangi gumpalan-gumpalan awan yang seolah disedot horizon. Napasmu mulai teratur, dan dudukmu mulai kaku seperti orang sembahyang. Seperti ingin selaras dengan ombak yang kian pasang, napasmu kian panjang, hingga di satu titik berubah memburu.

 
      Terjadi gemuruh di lautan hatimu. Tiba-tiba kau melorot dari karang itu, tersungkur menghujam pasir. Punggungmu berguncang.

      Aku tahu apa yang terjadi, aku tahu apa yang kau tangiskan, aku tahu apa yang bisa menghiburmu, tapi cara itu masih jadi rahasia. Lalu kau berlari menuju ombak, membawa perasaan seberagam langit saat senja; antara duka, murka, dan cinta yang entah harus dibuang ke mana. Saat itu kau ingin bergabung dengan rombongan awan yang terhipnotis masuk ke dalam rekahan ufuk barat. Dan berenang saat laut pasang mendadak menjadi pilihan yang masuk akal bagimu.

     Ingin rasanya aku ikut berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkeram bahumu agar kau tahu aku ada di sini.

     Namun bahasaku tinggal rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi ada.

Aku hanya ingin merengkuhmu. Adakah engkau tahu? Aku ada.


      Setahun sudah sejak kau mencatat tanggal kepergianku, dan memang aku tak pernah kembali dalam bentuk yang kau harapkan.

 Namun adakah engkau tahu? Aku masih ada.

        Meski mendapatkanmu seperti lawatan ke museum tempat segala keindahan dikurung etalase kaca hingga berlapis saat disentuh, aku tetap merasa utuh.

 Percayakah kamu? Aku selalu ada. 

       Ke dalam perasaan inilah engkau akan bermuara, ke dalam perasaan inilah engkau akan pulang dan bertemu aku lagi. Dan perasaan itu dapat engkau nikmati sekarang, di dalam hati.
 Tanpa perlu mati. Sekarang.

 Dengarkah kamu? Aku ada. Aku masih ada. Aku selalu ada.

          Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu.

        Kayuhanmu tahu-tahu terhenti. Sudah jauh engkau berenang meninggalkan pantai, basah kuyup dan megap-megap. Namun tiba-tiba kau tergerak untuk diam, merasakan ombak yang dengan aneh mengembalikanmu mundur. Semakin kuat kau mengayuh, kau malah semakin mundur ke pasir tempat kau tadi melangkah. Perlahan kau berdiri, menatap laut dengan tatapan asing seolah itu pertemuan kalian yang pertama kali.

       Setengah mati kau lawan lautan untuk mencari jawab atas amarahmu pada kematian, dan dengan sabar bagai ibunda menimang anaknya yang meraung murka agar kembali tenang, lautan mengembalikanmu kembali ke tepiannya. Seolah berkata, belum saatnya.

 
     Tempatmu di sana. Kembaliah ke pasir tempat jejak-jejakmu tersimpan, kembali padanya yang menantimu dengan senyum sayang.
 Seberaneka warna langit senja, muncul aneka ekspresi pada mukamu. Matamu berkaca-kaca, bibirmu tersenyum, lalu kau mulai menangis sambil tertawa. Aku tahu apa yang kau sadari, aku tahu apa yang kau syukuri, dan kini aku tahu cara berbicara denganmu.

     Pesan ini akhirnya tiba. Saat pasir tempatmu berpijak pergi ditelan ombak, akulah lautan yang memeluk pantaimu erat. Akulah langit beragam warna yang mengasihimu lewat beragam cara. Engkau hanya perlu merasa dan biarkan alam berbicara.

     Air matamu bercampur dengan jejak air laut. Tawa cerahmu bercampur dengan sengguk tangis. Namun matamu tak lagi bertanya-tanya. Hari ini engkau akan pulang untuk makan malam, bercinta dengan yang kau cinta ditemani cahaya dan wangi lilin aromaterapi. 

     Engkau tersenyum dengan segenap jiwamu, karena hari ini kita sama-sama mengetahui satu rahasia: cinta adalah aku, cinta adalah engkau, cinta adalah dia, dan cinta tak pernah mati.
Sekalipun jasadku sudah tak ada.
 Dengan mulut setengah dibekap, kau membisikkan satu kata yang pernah menjadi namaku.
Kali ini kau tidak mengucapkannya seperti perpisahan, bukan juga perumpaan, melainkan sebuah kesadaran.

 Rahasia kecil kita berdua : aku tahu engkau tahu aku ada.

Tidak ada komentar: