Sabtu, 14 Maret 2015

Bahasa dari Negeri Hening



Akan ku perdengarkan kau sebuah lagu .

Sebuah lagu sederhana yang akan menenggelamkanmu  sejenak pada pencarian titik temu yang kisahnya cukup panjang.

Lagu tanpa instrumen yang disuguhkan dengan apik untuk membuat air matamu mengalir dan jatuh untuk sekedar  mengenal kata berjuang.

Lagu tanpa lirik yang hanya berhiaskan kata-kata yang biasa  saja menggemakan tawa

Dan membuatmu tau kalau hidup adalah sebuah kalah yang terus menuntutmu menang.

***


Bahasa dari Negeri Hening


Hening bukan sepi. Hening bukan kelam. Hening juga bukan diam.

Sebaliknya, Hening adalah ramai untuknya. Hening adalah puncak dari segala keramaian imajinasinya.



 

       Namanya Paska. Satu rangkaian huruf yang dibuat seapik mungkin oleh kedua orang tuanya yang sekarang sudah terbujur kaku dibasahnya tanah pemakaman.

        Paska nama yang seharusnya menjadi doa akan harapan dan cita-cita orang tuanya yang bisa di wujudkan peyandang nama tersebut.

“Paska, sudah siap pelajaran musik hari ini?” Panggil Anjani yang langsung membuat Paska tersenyum miris

“Mmm, kamu kan tau sampai kapanpun aku tidak akan menyanyi di depan umum, aku takut. Tapi, taukah kamu anjani, aku berharap hari ini dapat mendengarkan nyanyianmu.” Kata Paska dengan senyum yang berubah merona, mengingat sahabatnya ini hanya mahir dalam bidang menyanyi.

“Hampir setiap hari aku bernyanyi Paska, tapi kali ini aku akan menyanyi khusus untukmu Paska.” Jelasnya dengan tawa menggoda

         Paska ingin sekali dapat mendengarkan suara sahabatnya. Jika diberi kesempatan untuk dapat mendengar maka Ia ingin sekali mendengar Nenek yang selalu menasihatinya dan Anjani yang selalu bernyanyi untuknya. Maka, akan Ia rekam suara mereka dalam kaset memori favorit di otaknya agar Ia mengingat betul bagaimana suara mereka.

          Kelas menyanyi dimulai, entah sejak kapan Anjani bergerak mengikutinya  dari belakang seperti seorang penguntit.

“Anjani, jangan mengikutiku seperti itu. Are you okey my bestie?” Paska dengan nada menyelidik
 
“Hah? Iya, aku baik-baik saja.”Jawab Anjani dengan suara  yang terdengar cukup parau

“Jangan berbicara di belakangku Anjani, berbicaralah di depanku.” Jawab Paska dengan nada cukup tegas

Kemudian Anjani berjalan seiringan dengan paskah.

“Iya Paska, sekarang aku sudah ada di hadapanmu kan? Aku gugup, sangat gugup. Aku tidak mau yah,  ketika aku menyanyi untukmu tapi kau malah asik dengan buku bacaanmu itu.” Ujar Anjani dengan nada sinis

“Aku tidak akan membaca buku ini kalau kamu tidak merasa gugup lagi dan tidak mengacaukan penilaian kelas menyanyimu.”Ungkap Paska dengan senyum yang dibuat senyaman mungkin

“Iya, pas-ka-pas-ka-pas.” Sindir Anjani tajam yang kemudian ia tertawa lepas seketika

“Hey, tapi bagaimana dengan kamu? Kamu juga kan harus mendapatkan nilai?” Anjani, dengan tatapan penuh tanya nya, justru menambah kekhawatiran Paska

“Aku tidak bisa menyanyi, jika ketika aku naik ke atas panggung. Aku akan berbicara bahwa suaraku serupa dengan suara bebek.”Jawab Paska, dengan tidak yakin

           Paska tertegun. Walau tidak dapat mendengar segala suara di  dunia ini, tapi hal itu  membuat kedua matanya menjadi lebih tajam. Menjadi lebih teliti melihat setiap lekukan emosi lawan bicaranya. Dan saat ini ketika dilihatnya sorot mata Anjani rasanya Ia tertawa puas melihat sahabatnya mampu mengontrol diri.

         Sesaat Anjani menyanyikan lagu dengan sangat indah, mungkin. Yang Ia tahu  seluruh penjuru ruangan ini terfokus dengan tatapan kekaguman menatap sahabatnya itu. Walau aku tidak dapat mendengar suaranya, Paska tau betul lagu apa yang Anjani nyanyikan. Ia menyanyikan lagu Deavola-Once.

       Ia hanya terpaku seolah terhipnotis oleh setiap lekukan kata yang ia keluarkan dari bibir dan tatapan tajam mata sahabatnya yang mengisyaratkan kehangatan.

       Sampai Paska lupa bahwa kini giliran-nya, ingin rasanya Ia kabur dari ruang Gimnasium ini. Tapi, Ia sudah berjanji pada Anjani akan mengatasi segala rasa takutnya. Dengan langkah penuh keraguan Paka berjalan naik ke atas panggung.

       Sudah cukup lama Paska berdiri di panggung tempat penilaian, Ia tidak dapat mendengar apapun yang mereka teriakan tapi pasti itu makian,  beberapa anak yang terlihat tidak sabar juga melemparinya dengan kertas disertai tatapan tajam yang seolah menginstrusipkan agar Ia enyah saja dari Gimnasium ini.

       Tapi, apakah Paska salah lihat? Atau ia hanya berimajinasi. Ada nenek disana, di tempat duduk teratas bersama Anjani, mereka menatap Paska  dengan tatapan penuh keyakinan, Ia tidak ingin mengecawakan mereka.

      Paska coba memejamkan matanya, mengingat kembali kenangan dimana Ia dapat mengenali nada, menginggat segala  nyanyian yang dulu sering ia nyanyikan. Sampai pada akhirnya Ia memberankan dirinya  berjalan menuju kursi piano.

       Memejamkan matanya kembali,  dan saat ini Ia hanya terfokus pada indra peraba dan imajinasi terliarnya. Imajinasi yang masih menganggap  permainan piano dan suaranya tidak ada yang berubah masih seperti 7 tahun yang lalu.

      Intro lagu Cinta-nya Melly ft Krisdayanti, memenuhi ruangan Gimnasium. Suara Paska menyentakan seluruh telinga yang mendengar disana. Seluruh pasang mata  dan telinga itu  luruh oleh suara yang bagi mereka selayaknya suara malaikat yang sangat  indah.

Cinta..tegarkan hatiku, tak mau sesuatu  merenggut engkau

Naluriku berkata, tak ingin terulang lagi

Kehilangan cinta hati bagai raga tak bernyawa

Aku..junjung petuahmu

Cintai dia yang mencintaiku, hati terus berlayar kini telah menepi

Bukankah hidup kita akhirnya harus bahagia..?

        Mendengar nyanyian Paska, seluruh orang di gimnasium hampipr menjelma menjadi patung hidup. Bagaimana tidak, Paska yang selama ini dikenal paling takut dengan kelas menyanyi hari ini menunjukan bahwa ia lebih baik dari siswa yang mahir dalam menyanyi.

       Paska menyudahi imajinasi dan permainan piano-nya, membuka lagi  matanya. Ia yang merasa takut, tapi dalam seketika ketakutan itu hilang tergantikan dengan rasa senang. Bagaimana tidak, seluruh pasang mata menatapnya dengan rasa haru dan bangga. Bahkan guru musik dan teman-teman satu kelas  yang selalu menggangapnya bodoh, menatapnya dengan rasa bangga. Ia dapat melihat banyak sekali senyum kebahagiaan yang tercetak di wajah teman-teman nya.

“My bestie, suaramu. Aku yakin jika ada produser disini ia pasti akan langsung menyeretmu ke dapur rekaman.”

“Aku tidak ingin diseret, lagi pula aku tidak berminat menjadi penyanyi. Mana nenek ?” Paska dengan senyum yang masih merekah

“Dikelas, ayo ke kelas.”

       Paska berjalan bergandengan dengan Anjani, ini seperti hari yang ditakdirkan hanya untuknya. 
Sesampainya ia di dekelas Paska disambut dengan tatapan hangat nenek dan teman-temannya. Ada yang  berbeda, teman-temanya yang biasa bersikap apatis kini berubah begitu peduli. Dalam hatinya seribu  pertanyaan menyeruak, tidak mungkin jika karena nyanyianya ia mendapatkan tatapan yang terlihat penuh kasih sayang itu.

“Paska, maafin aku ya? selama ini aku jahat  banget sama kamu. Menggangap kamu  bodoh, dan sombong.” Ucap Dita salah seorang teman sekelas Paska
Bukan hanya Dita, teman-teman yang lainya pun begitu. Bergantian meminta maaf kepada Paska dan menangis. Paska yang tidak mengerti hal apa yang membuat mereka berubah seperti ini.  

“Kalian kenapa nangis?” Tanya Paskah dengan tatapan polosnya

“Paska, kenapa sih kamu nutupin ini semua dari kita? Aku yakin bukan karena malu. 7 tahun kamu berpura-pura senormal anak lain, kamu hebat my bestie.” Anjani, direngkuhnya tubuh Paska dalam pelukannya.

        Anjani yang kuat itu kini menangis dalam pelukan sahabatnya, Ia menyesal tidak dapat memahami keadaan Paska, selama ini Ia menggangap Paska sama dengan remaja pada umumnya, tanpa tahu beban yang ditanggung sahabatnya.

        Paska pun begitu, Ia menangis sesenggukan di pelukan sahabatnya. Setelah 7 tahun Ia menyembunyikan kenyataan bahwa Ia tuli. Kini seluruh teman-temannya mengetahui, Ia pernah mengalami kecelakaan yang merenggut kedua orang tua dan pendengaran-nya.

“Paska, aku menyayangimu. Sangat menyayangimu. Maaf tidak menjadi sahabat yang baik untukmu.”

“Huss.. Anjani kamu itu sahabat terbaik, hanya kamu dan nenek yang aku punya. Kalian adalah yang terbaik.” Jawab Paska dengan nada penuh keyakinan

“Paska, apakah kami bukan sahabatmu?” Tanya teman-teman paskah dengan nada bersemangat

“Ahh, iya aku lupa  kalian juga sahabatku.” Tegas Paska sambil memeluk sahabat-sahahbat barunya itu

“Sayang?” panggil Nenek dengan senyuman terukir indah di bibirnya

“Paska sayang sekali sama nenek. Terima kasih sudah merawat Paska.” Jawab Paska yang langsung 
 beralih memeluk neneknya.

          Kini Paska merasa tidak terkucilkan lagi. Dunia yang dulu ia kira lebih hening dari pendengaranya, berubah menjadi menjadi nyanyian yang iramanya hanya terdengar oleh Paska.

***

“Paska, pulang yuk.” Ajak Rina

“Ayo.”  Jawab Paska dengan penuh semangat

“Paska, aku benar-benar minta maaf yah hampir setiap hari aku melemparmu dengan kertas hanya untuk memanggilmu. Pasti rasanya sakit. Tapi kamu, selama ini  selalu membantuku, membantu anak-anak yang lain. Sekalipun kami segan menggucapkan kata terima kasih.”

“Sudah Rin, bisa membantu kalian saja aku senang. Jadi kenapa harus  berharap lebih?” Paska  dengan senyum penuh

“Kamu benar-benar seperti bunga kapas, memiliki hati yang cantik sekalipun orang-orang tidak mengetahui  kecantikan hati tersebut. Pas-ka-pas. Terima kasih ya telah mengajarkanku segalanya.” Rina dengan senyum tatapan hangat dan senyum

“Wah, tau dari mana kamu tentang bunga kapas?” Kata paska dengan senyum penasaran-nya

“Dari nenek kamu.”Rina dengan tawa lepasnya

“Ahh, iya aku lupa. Aku pergi dulu yah mau beli pancake apel buat nenek.”

“Sendirian? Aku anterin yah?”

“Tidak usah, bye Rina.” Kata Paska, tak lupa seulas senyum Ia persembahkan untuk sahabat barunya itu.

             Entah rasanya sulit sekali Rina melepaskan sahabat barunya itu. Karena ia tidak dapat menahan rasa khawatirnya itu, Ia mencoba untuk menyusul Paska, tapi apa yang dilihatnya jelas bukan pemandangan yang mengasyikan. Paska terlampau jauh untuk dijangkau, memanggil dan berteriak kepadanya hanya akan menjadi hal yang percuma. Dan hanya dalam hitungan detik segalanya berubah. Tawa itu tergantikan oleh darah yang menjelma layaknya hujan. Tubuh Paska terbujur kaku di hadapan-nya.

           Langit cerah sudah  berganti menjadi langit gelap untuk kesekian kalinya. Sudah berkali-kali Anjani dan Rina berjalan di taman yang terdapat pada rumah sakit ini. Melihat banyak yang berjalan menggunakan kursi roda dengan jarum suntik yang menancap pada tanganya. Anjani dan Rina menutup matanya ketika duduk di ayunan. Tak lama, suara-suara itu datang. Suara angin, detak jantung, lonceng sepeda, decitan ayunan, tawa anak kecil, tangisan yang memilukan, suara elektrodiograf yang terdengar dua detik sekali, suara roda pada ranjang yang berjalan, dan suara nyanyian curung yang terdengar parau.

“Sudah setahun, tapi rasanya baru kemarin aku mendengar Ia menyanyi, mengggembangkan senyumnya, dan memeluk kita.” Kata Anjani dengan suara yang nyaris tak terdengar

“Iya, bukankah dia begitu menyukai bunga yang terlihat aneh ini? Dia aneh sama seperti bunga ini, bunga yang jangankan untuk di kagumi, dipandang saja enggan. Bunga yang selalu dimanfaatkan, tapi tidak pernah di kagumi manusia. Bunga yang cantik hatinya, sama seperti Paska kita. Dia memiliki hati yang cantik sekalipun orang-orang tidak menggangap kecantikan hati tersebut.” Ungkap Rina dengan tawa menggembang dan menyodorkan seikat bunga kapas kepada Anjani.


END 






Tidak ada komentar: