Akan ku perdengarkan kau sebuah lagu .
Sebuah lagu sederhana yang akan menenggelamkanmu sejenak pada pencarian titik temu yang
kisahnya cukup panjang.
Lagu tanpa instrumen yang disuguhkan dengan apik untuk
membuat air matamu mengalir dan jatuh untuk sekedar mengenal kata berjuang.
Lagu tanpa lirik yang hanya berhiaskan kata-kata yang
biasa saja menggemakan tawa
Dan membuatmu tau kalau hidup adalah sebuah kalah yang terus
menuntutmu menang.
***
Bahasa dari Negeri Hening
Hening bukan sepi.
Hening bukan kelam. Hening juga bukan diam.
Sebaliknya, Hening
adalah ramai untuknya. Hening adalah puncak dari segala keramaian
imajinasinya.
Namanya Paska. Satu rangkaian huruf
yang dibuat seapik mungkin oleh kedua orang tuanya yang sekarang sudah terbujur
kaku dibasahnya tanah pemakaman.
Paska nama yang seharusnya menjadi
doa akan harapan dan cita-cita orang tuanya yang bisa di wujudkan peyandang
nama tersebut.
“Paska, sudah siap pelajaran musik
hari ini?” Panggil Anjani yang langsung membuat Paska tersenyum miris
“Mmm, kamu kan tau sampai kapanpun
aku tidak akan menyanyi di depan umum, aku takut. Tapi, taukah kamu anjani, aku
berharap hari ini dapat mendengarkan nyanyianmu.” Kata Paska dengan senyum yang
berubah merona, mengingat sahabatnya ini hanya mahir dalam bidang menyanyi.
“Hampir setiap hari aku bernyanyi
Paska, tapi kali ini aku akan menyanyi khusus untukmu Paska.” Jelasnya dengan
tawa menggoda
Paska ingin sekali dapat mendengarkan
suara sahabatnya. Jika diberi kesempatan untuk dapat mendengar maka Ia ingin
sekali mendengar Nenek yang selalu menasihatinya dan Anjani yang selalu
bernyanyi untuknya. Maka, akan Ia rekam suara mereka dalam kaset memori favorit
di otaknya agar Ia mengingat betul bagaimana suara mereka.
Kelas menyanyi dimulai, entah sejak kapan
Anjani bergerak mengikutinya dari
belakang seperti seorang penguntit.
“Anjani, jangan mengikutiku seperti
itu. Are you okey my bestie?” Paska dengan nada menyelidik
“Hah? Iya, aku baik-baik saja.”Jawab
Anjani dengan suara yang terdengar cukup
parau
“Jangan berbicara di belakangku
Anjani, berbicaralah di depanku.” Jawab Paska dengan nada cukup tegas
Kemudian Anjani berjalan seiringan
dengan paskah.
“Iya Paska, sekarang aku sudah ada di
hadapanmu kan? Aku gugup, sangat gugup. Aku tidak mau yah, ketika aku menyanyi untukmu tapi kau malah
asik dengan buku bacaanmu itu.” Ujar Anjani dengan nada sinis
“Aku tidak akan membaca buku ini
kalau kamu tidak merasa gugup lagi dan tidak mengacaukan penilaian kelas
menyanyimu.”Ungkap Paska dengan senyum yang dibuat senyaman mungkin
“Iya, pas-ka-pas-ka-pas.” Sindir
Anjani tajam yang kemudian ia tertawa lepas seketika
“Hey, tapi bagaimana dengan kamu?
Kamu juga kan harus mendapatkan nilai?” Anjani, dengan tatapan penuh tanya nya,
justru menambah kekhawatiran Paska
“Aku tidak bisa menyanyi, jika ketika
aku naik ke atas panggung. Aku akan berbicara bahwa suaraku serupa dengan suara
bebek.”Jawab Paska, dengan tidak yakin
Paska tertegun. Walau tidak dapat mendengar
segala suara di dunia ini, tapi hal
itu membuat kedua matanya menjadi lebih
tajam. Menjadi lebih teliti melihat setiap lekukan emosi lawan bicaranya. Dan
saat ini ketika dilihatnya sorot mata Anjani rasanya Ia tertawa puas melihat
sahabatnya mampu mengontrol diri.
Sesaat Anjani menyanyikan lagu dengan
sangat indah, mungkin. Yang Ia tahu
seluruh penjuru ruangan ini terfokus dengan tatapan kekaguman menatap
sahabatnya itu. Walau aku tidak dapat mendengar
suaranya, Paska tau betul lagu apa yang Anjani nyanyikan. Ia menyanyikan lagu
Deavola-Once.
Ia hanya terpaku seolah terhipnotis oleh
setiap lekukan kata yang ia keluarkan dari bibir dan tatapan tajam mata
sahabatnya yang mengisyaratkan kehangatan.
Sampai Paska lupa bahwa kini giliran-nya,
ingin rasanya Ia kabur dari ruang Gimnasium ini. Tapi, Ia sudah berjanji pada
Anjani akan mengatasi segala rasa takutnya. Dengan langkah penuh keraguan Paka
berjalan naik ke atas panggung.
Sudah cukup lama Paska berdiri di
panggung tempat penilaian, Ia tidak dapat mendengar apapun yang mereka teriakan
tapi pasti itu makian, beberapa anak
yang terlihat tidak sabar juga melemparinya dengan kertas disertai tatapan
tajam yang seolah menginstrusipkan agar Ia enyah saja dari Gimnasium ini.
Tapi, apakah Paska salah lihat? Atau
ia hanya berimajinasi. Ada nenek disana, di tempat duduk teratas bersama
Anjani, mereka menatap Paska dengan
tatapan penuh keyakinan, Ia tidak ingin mengecawakan mereka.
Paska coba memejamkan matanya, mengingat
kembali kenangan dimana Ia dapat mengenali nada, menginggat segala nyanyian yang dulu sering ia nyanyikan.
Sampai pada akhirnya Ia memberankan dirinya
berjalan menuju kursi piano.
Memejamkan matanya kembali, dan saat ini Ia hanya terfokus pada indra
peraba dan imajinasi terliarnya. Imajinasi yang masih menganggap permainan piano dan suaranya tidak ada yang
berubah masih seperti 7 tahun yang lalu.
Intro lagu Cinta-nya Melly ft
Krisdayanti, memenuhi ruangan Gimnasium. Suara Paska menyentakan seluruh
telinga yang mendengar disana. Seluruh pasang mata dan telinga itu luruh oleh suara yang bagi mereka selayaknya
suara malaikat yang sangat indah.
Cinta..tegarkan hatiku,
tak mau sesuatu merenggut engkau
Naluriku berkata, tak
ingin terulang lagi
Kehilangan cinta hati
bagai raga tak bernyawa
Aku..junjung petuahmu
Cintai dia yang mencintaiku,
hati terus berlayar kini telah menepi
Bukankah hidup kita
akhirnya harus bahagia..?
Mendengar nyanyian Paska, seluruh
orang di gimnasium hampipr menjelma menjadi patung hidup. Bagaimana tidak,
Paska yang selama ini dikenal paling takut dengan kelas menyanyi hari ini
menunjukan bahwa ia lebih baik dari siswa yang mahir dalam menyanyi.
Paska menyudahi imajinasi dan
permainan piano-nya, membuka lagi
matanya. Ia yang merasa takut, tapi dalam seketika ketakutan itu hilang
tergantikan dengan rasa senang. Bagaimana tidak, seluruh pasang mata menatapnya
dengan rasa haru dan bangga. Bahkan guru musik dan teman-teman satu kelas yang selalu menggangapnya bodoh, menatapnya
dengan rasa bangga. Ia dapat melihat banyak sekali senyum kebahagiaan yang
tercetak di wajah teman-teman nya.
“My bestie, suaramu. Aku yakin jika
ada produser disini ia pasti akan langsung menyeretmu ke dapur rekaman.”
“Aku tidak ingin diseret, lagi pula
aku tidak berminat menjadi penyanyi. Mana nenek ?” Paska dengan senyum yang
masih merekah
“Dikelas, ayo ke kelas.”
Paska berjalan bergandengan dengan
Anjani, ini seperti hari yang ditakdirkan hanya untuknya.
Sesampainya ia di
dekelas Paska disambut dengan tatapan hangat nenek dan teman-temannya. Ada
yang berbeda, teman-temanya yang biasa
bersikap apatis kini berubah begitu peduli. Dalam hatinya seribu pertanyaan menyeruak, tidak mungkin jika
karena nyanyianya ia mendapatkan tatapan yang terlihat penuh kasih sayang itu.
“Paska, maafin aku ya? selama ini aku
jahat banget sama kamu. Menggangap
kamu bodoh, dan sombong.” Ucap Dita
salah seorang teman sekelas Paska
Bukan hanya Dita, teman-teman yang
lainya pun begitu. Bergantian meminta maaf kepada Paska dan menangis. Paska
yang tidak mengerti hal apa yang membuat mereka berubah seperti ini.
“Kalian kenapa nangis?” Tanya Paskah
dengan tatapan polosnya
“Paska, kenapa sih kamu nutupin ini
semua dari kita? Aku yakin bukan karena malu. 7 tahun kamu berpura-pura
senormal anak lain, kamu hebat my bestie.” Anjani, direngkuhnya tubuh Paska dalam
pelukannya.
Anjani yang kuat itu kini menangis
dalam pelukan sahabatnya, Ia menyesal tidak dapat memahami keadaan Paska,
selama ini Ia menggangap Paska sama dengan remaja pada umumnya, tanpa tahu
beban yang ditanggung sahabatnya.
Paska pun begitu, Ia menangis
sesenggukan di pelukan sahabatnya. Setelah 7 tahun Ia menyembunyikan kenyataan
bahwa Ia tuli. Kini seluruh teman-temannya mengetahui, Ia pernah mengalami
kecelakaan yang merenggut kedua orang tua dan pendengaran-nya.
“Paska, aku menyayangimu. Sangat
menyayangimu. Maaf tidak menjadi sahabat yang baik untukmu.”
“Huss.. Anjani kamu itu sahabat
terbaik, hanya kamu dan nenek yang aku punya. Kalian adalah yang terbaik.”
Jawab Paska dengan nada penuh keyakinan
“Paska, apakah kami bukan sahabatmu?”
Tanya teman-teman paskah dengan nada bersemangat
“Ahh, iya aku lupa kalian juga sahabatku.” Tegas Paska sambil
memeluk sahabat-sahahbat barunya itu
“Sayang?” panggil Nenek dengan
senyuman terukir indah di bibirnya
“Paska sayang sekali sama nenek.
Terima kasih sudah merawat Paska.” Jawab Paska yang langsung
beralih memeluk
neneknya.
Kini Paska merasa tidak terkucilkan
lagi. Dunia yang dulu ia kira lebih hening dari pendengaranya, berubah menjadi
menjadi nyanyian yang iramanya hanya terdengar oleh Paska.
***
“Paska, pulang yuk.” Ajak Rina
“Ayo.” Jawab Paska dengan penuh semangat
“Paska, aku benar-benar minta maaf
yah hampir setiap hari aku melemparmu dengan kertas hanya untuk memanggilmu.
Pasti rasanya sakit. Tapi kamu, selama ini
selalu membantuku, membantu anak-anak yang lain. Sekalipun kami segan
menggucapkan kata terima kasih.”
“Sudah Rin, bisa membantu kalian saja
aku senang. Jadi kenapa harus berharap
lebih?” Paska dengan senyum penuh
“Kamu benar-benar seperti bunga
kapas, memiliki hati yang cantik sekalipun orang-orang tidak mengetahui kecantikan hati tersebut. Pas-ka-pas. Terima
kasih ya telah mengajarkanku segalanya.” Rina dengan senyum tatapan hangat dan
senyum
“Wah, tau dari mana kamu tentang
bunga kapas?” Kata paska dengan senyum penasaran-nya
“Dari nenek kamu.”Rina dengan tawa
lepasnya
“Ahh, iya aku lupa. Aku pergi dulu
yah mau beli pancake apel buat nenek.”
“Sendirian? Aku anterin yah?”
“Tidak usah, bye Rina.” Kata Paska,
tak lupa seulas senyum Ia persembahkan untuk sahabat barunya itu.
Entah rasanya sulit sekali Rina
melepaskan sahabat barunya itu. Karena ia tidak dapat menahan rasa khawatirnya
itu, Ia mencoba untuk menyusul Paska, tapi apa yang dilihatnya jelas bukan
pemandangan yang mengasyikan. Paska terlampau jauh untuk dijangkau, memanggil
dan berteriak kepadanya hanya akan menjadi hal yang percuma. Dan hanya dalam
hitungan detik segalanya berubah. Tawa itu tergantikan oleh darah yang menjelma
layaknya hujan. Tubuh Paska terbujur kaku di hadapan-nya.
Langit cerah sudah berganti menjadi langit gelap untuk kesekian
kalinya. Sudah berkali-kali Anjani dan Rina berjalan di taman yang terdapat
pada rumah sakit ini. Melihat banyak yang berjalan menggunakan kursi roda dengan
jarum suntik yang menancap pada tanganya. Anjani dan Rina menutup matanya
ketika duduk di ayunan. Tak lama, suara-suara itu datang. Suara angin, detak
jantung, lonceng sepeda, decitan ayunan, tawa anak kecil, tangisan yang
memilukan, suara elektrodiograf yang terdengar dua detik sekali, suara roda
pada ranjang yang berjalan, dan suara nyanyian curung yang terdengar parau.
“Sudah setahun, tapi rasanya baru
kemarin aku mendengar Ia menyanyi, mengggembangkan senyumnya, dan memeluk
kita.” Kata Anjani dengan suara yang nyaris tak terdengar
“Iya, bukankah dia begitu menyukai
bunga yang terlihat aneh ini? Dia aneh sama seperti bunga ini, bunga yang
jangankan untuk di kagumi, dipandang saja enggan. Bunga yang selalu
dimanfaatkan, tapi tidak pernah di kagumi manusia. Bunga yang cantik hatinya,
sama seperti Paska kita. Dia memiliki hati yang cantik sekalipun orang-orang
tidak menggangap kecantikan hati tersebut.” Ungkap Rina dengan tawa menggembang
dan menyodorkan seikat bunga kapas kepada Anjani.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar