Sabtu, 14 Maret 2015

Setoples Rindu untuk Ayah







“Pegang tanganku ayah, tapi jangan terlalu erat karena aku ingin seiring bukan digiring.”


       Sejak saat itu aku belum pernah melihatnya tertawa lepas, hanya tawa tipis yang selalu tercetak disana. Hanya tatapan mata kosong yang seolah-olah menatapku penuh makna padahal pikirannya entah ada dimana. 

        Andai ayah tau, aku disini, masih bertahan disini, dan akan selalu mencoba berada disini hanya untuk ayah. Apapun caranya aku akan aku lakukan agar aku tetap berada di sekolah ini, dikelas favorit ini, di tempat ayah akan tersenyum dan berkata “Aku bangga memiliki anak sepertimu.”
 
“Ayah, ini hasil ulanganku kali ini. Aku mendapatkankan nilai 90 lagi.” Kataku, dengan nada yang nyaris terlihat begitu kecewa

“Masih 90? Apa kamu akan terus  berada di bawahnya?” Jawab ayah dengan nada sinis

“Maaf, dinda akan berusaha lebih lagi dari ini.”

“Kembali ke kamarmu, dan belajar!”

         Aku meninggalkan ruang kerja ayah dan kembali ke kamarku. Hal-hal semacam ini sudah teramat sering aku lalui, tapi rasanya aku belum terbiasa untuk melihat sorot mata kecewa daria ayah.

     Ruang ini mungkin menjadi saksi yang tidak dapat menjelaskan kepada siapapun, apa yang aku lakukan di dalamnya. Di ruang ini aku menghabiskan setiap jamnya untuk belajar dan istirahat, aku harus berusaha keras agar aku tetap mendapatkan nilai di atas rata-rata mengingat aku berbeda dengan remaja pada umumnya.

 Untukku saat ini  “ no matter how much I struggle, I’m still a goldfish trapped in a tank.”

      Seperti biasa ketika aku merasa kepalaku hampir pecah karena rasa sakit yang di akibatkan terlalu berpikir keras, aku harus meminum obat penenang dan penahan rasa sakitku. Setidaknya obat ini bisa meringankan rasa sakitku.

***

“Ayah, hari ini Dinda mau ulangan Fisika sama Matematika. Doain ya Ayah.” Ujarku

“Jangan, nunjukin nilai ulangan kamu  ke ayah kalau nilai kamu engga 100.” Jawab ayah yang masih membaca korannya tanpa sedikitpun mentapku

“Dinda usahain yah, tapi kalau dinda dapat nilai 100 ayah mau kan jalan-jalan sama Dinda.” Kataku dengan senyum yang sengaja kubuat.

          Sebelum ulangan aku harus pergi ke toilet untuk meminum obat  penahan rasa sakitku. Tapi, obat rasa sakitku tidak berada di tempatnya. Ahh, bagaimana ini! Aku engga mungkin izin buat ngga ngikutin ulangan, tapi kalau aku paksain aku bisa aja pingsan ketika ulangn nanti.  Aku harus tunjukin ke Ayah hari ini kalau aku akan dapatkan nilai 100 ku lagi dan buat ayah tersenyum lagi, ini hari ulang tahunku, aku pengin lihat ayah senyum dan aku akan dapetin nilai 100. 

        Setelah  perperangan batin, aku mengutuskan untuk tetap mengikuti ulangan meskipun aku tahu, kalau aku akan merasakan sakit yang luar biasa.

“Din, kamu sakit ya? ke UKS aja, kan kamu bisa ikut ulangan susulan.” Ungkap rina, yang terlihat begitu mengkhawatirkanku. Rina adalah sahabatku, meskipun begitu aku tidak pernah memberitahunya apa yang terjadi denganku.

“Aku baik-baik aja ko Rin, mungkin cuma kecapean aja.” Jawabku dengan senyum simpul

“Beneran? Kalau sakit bilang ya, aku akan temenin kamu ke UKS.”

“Iya, cantik. Udah gih kerjain sana jangan ngajak ngobrol terus.”
         Awalnya memang tidak terlalu sakit, semakin aku berpikir rasa sakit itu justru semakin menjadi-jadi. Entah kenapa aku jadi tidak dapat melihat sekelilingku, gelap, sakit sekali rasanya.
***
        Sakit, hanya itu yang aku rasakan ketika aku mulai  dapat membuka mata.
“Dimana ini, Ayah? Dinda dimana?”
“Sayang, kenapa kamu sembunyiin ini semua dari ayah. Kenapa kamu ngga biarin ayah jadi penyemangat kamu, kenapa kamu menangggung semua ini sendiri sayang.”Ayah, dengan memelukku dan tak kuasa menahan tangisnya

“Jadi ayah tahu?”Kataku yang isakan tangis yang memenuhi ruang kamarku dirawat.

“Iya ayah tau semuanya, bahkan kamu yang meminum obat penahan rasa sakikt kamu juga melewati batas ayah juga tau.”

“Ayah...”isakan tangisku kini tak terbendung lagi di pelukan ayah, nyaman sekali rasanya hingga aku ingin tetap berada di pelukannya.

           Aku mulai menceritakan segalanya pada ayah, awal cobaan yang indah ini. Hari dimana aku divonis mengidap Disleksia sampai aku masih bisa bertahan hingga hari ini, entah kapan penyakit itu menghampiriku yang aku tahu sejak tahun lalu aku divonis mengidap disleksia awalnya hanya sering pusing jika banyak berpikir, tapi perlahan bukan hanya pusing, rasa  sakit yang tiada hentinya itu terus menyerang ketika aku berpikir, bahkan hanya untuk membaca, memahami, dan mencerna ucapan  saja aku butuh waktu yang cukup lama untuk berpikir. Aku yang dengan sengaja menambah dosis obatku dengan tujuan agar aku dapat berkosentrasi belajar dan mendapatkan nilai yang mampu membuat ayah bangga. Tanpa harus membuat ayah mengkhawatirkan penyakit yang bisa kapan saja membuatku menyerahkan hidupku pada Disleksia.

          Hari ini seperti mendapat keajaiban terindah dalam hidup, bahkan dalam fantasi tertinggiku, aku tidak berani mengkhayalkan nya. Duduk santai dan berjalam-jalan bersama ayah di taman belakang  rumah sakit melupakan segala hal  sejenak  untuk menikmati hidup, yang terakhir kalinya mungkin. Tapi aku tidak menyesal  dan justru bersyukur. Setidaknya, sebelum aku meninggalkan segalanya. Ayah tersenyum hangat padaku, menggengam erat tanganku seolah tidak ingin melepaskanya. Bukan karena nilai 100 yang aku dapat hasil ulangan kemarin, tapi karena ayah yang benar-benar selalu ingin tersenyum padaku.

“Ayah, aku punya setoples rindu untuk ayah.” Ujarku penuh semangat

“Kenapa hanya setoples sayang?”tanya ayah dengan tatapan penasaran

“Aku hanya punya setoples ayah. Setoples yang jika dibuka rasa rindu itui akan berhamburan tanpa henti, setoples rindu yang tidak akan habis walau hanya setoples. Ayah harus berjanji akan hidup lebih baik lagi ketika aku pergi.” Kataku dengan senyum penuh arti.

“Iya sayang, terima kasih telah menjadi anak yang kuat dan memberikan ayah kebahagiaan yang tidak tertandingi. Terima kasih telah hadir di dunia ayah. Ayah sangat mencintaimu Dinda.”

“Dinda mencintai ayah, sangat mencintai ayah...”



END 



Tidak ada komentar: