“Pegang tanganku ayah, tapi jangan terlalu erat karena aku
ingin seiring bukan digiring.”
Sejak saat itu aku belum
pernah melihatnya tertawa lepas, hanya tawa tipis yang selalu tercetak disana.
Hanya tatapan mata kosong yang seolah-olah menatapku penuh makna padahal
pikirannya entah ada dimana.
Andai ayah tau, aku disini,
masih bertahan disini, dan akan selalu mencoba berada disini hanya untuk ayah.
Apapun caranya aku akan aku lakukan agar aku tetap berada di sekolah ini, dikelas favorit ini, di tempat
ayah akan tersenyum dan berkata “Aku bangga memiliki anak sepertimu.”
“Ayah, ini hasil ulanganku kali ini. Aku mendapatkankan nilai 90 lagi.”
Kataku, dengan nada yang nyaris terlihat begitu kecewa
“Masih 90? Apa kamu akan terus
berada di bawahnya?” Jawab ayah dengan nada sinis
“Maaf, dinda akan berusaha lebih lagi dari ini.”
“Kembali ke kamarmu, dan belajar!”
Aku meninggalkan ruang kerja ayah dan
kembali ke kamarku. Hal-hal semacam ini sudah teramat sering aku lalui, tapi
rasanya aku belum terbiasa untuk melihat sorot mata kecewa daria ayah.
Ruang ini mungkin menjadi saksi
yang tidak dapat menjelaskan kepada siapapun, apa yang aku lakukan di dalamnya.
Di ruang ini aku menghabiskan setiap jamnya untuk belajar dan istirahat, aku
harus berusaha keras agar aku tetap mendapatkan nilai di atas rata-rata
mengingat aku berbeda dengan remaja pada umumnya.
Untukku saat ini “ no matter how much I struggle, I’m still
a goldfish trapped in a tank.”
Seperti biasa ketika aku merasa
kepalaku hampir pecah karena rasa sakit yang di akibatkan terlalu berpikir
keras, aku harus meminum obat penenang dan penahan rasa sakitku. Setidaknya
obat ini bisa meringankan rasa sakitku.
***
“Ayah, hari ini Dinda mau ulangan Fisika sama Matematika. Doain ya Ayah.”
Ujarku
“Jangan, nunjukin nilai ulangan kamu
ke ayah kalau nilai kamu engga 100.” Jawab ayah yang masih membaca
korannya tanpa sedikitpun mentapku
“Dinda usahain yah, tapi kalau dinda dapat nilai 100 ayah mau kan
jalan-jalan sama Dinda.” Kataku dengan senyum yang sengaja kubuat.
Sebelum ulangan aku harus pergi ke
toilet untuk meminum obat penahan rasa
sakitku. Tapi, obat rasa sakitku tidak berada di tempatnya. Ahh, bagaimana ini!
Aku engga mungkin izin buat ngga ngikutin ulangan, tapi kalau aku paksain aku
bisa aja pingsan ketika ulangn nanti.
Aku harus tunjukin ke Ayah hari ini kalau aku akan dapatkan nilai 100 ku
lagi dan buat ayah tersenyum lagi, ini hari ulang tahunku, aku pengin lihat
ayah senyum dan aku akan dapetin nilai 100.
Setelah
perperangan batin, aku mengutuskan untuk tetap mengikuti ulangan
meskipun aku tahu, kalau aku akan merasakan sakit yang luar biasa.
“Din, kamu sakit ya? ke UKS aja, kan kamu bisa ikut ulangan susulan.”
Ungkap rina, yang terlihat begitu mengkhawatirkanku. Rina adalah sahabatku,
meskipun begitu aku tidak pernah memberitahunya apa yang terjadi denganku.
“Aku baik-baik aja ko Rin, mungkin cuma kecapean aja.” Jawabku dengan
senyum simpul
“Beneran? Kalau sakit bilang ya, aku akan temenin kamu ke UKS.”
“Iya, cantik. Udah gih kerjain sana jangan ngajak ngobrol terus.”
Awalnya memang tidak
terlalu sakit, semakin aku berpikir rasa sakit itu justru semakin menjadi-jadi.
Entah kenapa aku jadi tidak dapat melihat sekelilingku, gelap, sakit sekali
rasanya.
***
Sakit, hanya itu yang aku rasakan ketika
aku mulai dapat membuka mata.
“Dimana ini, Ayah? Dinda dimana?”
“Sayang, kenapa kamu sembunyiin ini semua dari ayah. Kenapa kamu ngga
biarin ayah jadi penyemangat kamu, kenapa kamu menangggung semua ini sendiri
sayang.”Ayah, dengan memelukku dan tak kuasa menahan tangisnya
“Jadi ayah tahu?”Kataku yang isakan tangis yang memenuhi ruang kamarku
dirawat.
“Iya ayah tau semuanya, bahkan kamu yang meminum obat penahan rasa sakikt
kamu juga melewati batas ayah juga tau.”
“Ayah...”isakan tangisku kini tak terbendung lagi di pelukan ayah, nyaman
sekali rasanya hingga aku ingin tetap berada di pelukannya.
Aku mulai menceritakan
segalanya pada ayah, awal cobaan yang indah ini. Hari dimana aku divonis
mengidap Disleksia sampai aku masih bisa bertahan hingga hari ini, entah
kapan penyakit itu menghampiriku yang aku tahu sejak tahun lalu aku divonis
mengidap disleksia awalnya hanya sering pusing jika banyak berpikir, tapi
perlahan bukan hanya pusing, rasa sakit
yang tiada hentinya itu terus menyerang ketika aku berpikir, bahkan hanya untuk
membaca, memahami, dan mencerna ucapan
saja aku butuh waktu yang cukup lama untuk berpikir. Aku yang dengan
sengaja menambah dosis obatku dengan tujuan agar aku dapat berkosentrasi
belajar dan mendapatkan nilai yang mampu membuat ayah bangga. Tanpa harus
membuat ayah mengkhawatirkan penyakit yang bisa kapan saja membuatku menyerahkan
hidupku pada Disleksia.
Hari ini seperti mendapat
keajaiban terindah dalam hidup, bahkan dalam fantasi tertinggiku, aku tidak
berani mengkhayalkan nya. Duduk santai dan berjalam-jalan bersama ayah di taman
belakang rumah sakit melupakan segala
hal sejenak untuk menikmati hidup, yang terakhir kalinya
mungkin. Tapi aku tidak menyesal dan
justru bersyukur. Setidaknya, sebelum aku meninggalkan segalanya. Ayah
tersenyum hangat padaku, menggengam erat tanganku seolah tidak ingin melepaskanya.
Bukan karena nilai 100 yang aku dapat hasil ulangan kemarin, tapi karena ayah
yang benar-benar selalu ingin tersenyum padaku.
“Ayah, aku punya setoples rindu untuk ayah.” Ujarku penuh semangat
“Kenapa hanya setoples sayang?”tanya ayah dengan tatapan penasaran
“Aku hanya punya setoples ayah. Setoples yang jika dibuka rasa rindu itui
akan berhamburan tanpa henti, setoples rindu yang tidak akan habis walau hanya
setoples. Ayah harus berjanji akan hidup lebih baik lagi ketika aku pergi.”
Kataku dengan senyum penuh arti.
“Iya sayang, terima kasih telah menjadi anak yang kuat dan memberikan ayah
kebahagiaan yang tidak tertandingi. Terima kasih telah hadir di dunia ayah.
Ayah sangat mencintaimu Dinda.”
“Dinda mencintai ayah, sangat mencintai ayah...”
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar