Bukan hujan pertama memang, tapi rasanya seperti
pertama kali bertatap muka.
“Kamu pernah mencium bau tanah ketika
hujan baru turun? Aroma teduh, aroma pengingat bahwa butir-butir air mulai
turun. Aroma hujan, begitu aku menyebutnya. Aroma yang kuhirup dalam-dalam
ketika masih bocah. Aroma yang terus mengingatkan aku pada masa itu, tiap kali
aku menciumnya, sampai detik ini.
Namanya
petrichor.
Berasal
dari bahasa Yunani, petros
(batu) dan ichor
(air). Apapun istilahnya, kamu pasti pernah menghirupnya. Sengaja ataupun tak
sengaja.
Begitu
pula aku. Tak jarang, memoriku ter-recall
setelah mendengar stimulasi dari telinga. Ya, namanya musik. Atau dari
penglihatan kedua mataku. Tapi sangat jarang terjadi bila kenangan terpanggil
kembali dari rangsangan hidung.
Dan itulah indahnya petrichor. Aroma tanah bercampur
air hujan, yang kata ibuku adalah bau debu yang terbang karena terhantam
butiran air, menghidupkan banyak gambaran masa lalu di kepalaku.” Ungkap Maya
“Okeh,
baiklah kamu selalu berbicara sesuatu yang tidak aku mengerti. May, besok jadi
ada mahasiswa dari ITS yang akan melakukan studi banding disini ya? berapa lama
mereka disini?” Tanya Dea
“Iya, 1
semester mungkin. Besok kamu harus berangkat ya De, aku ngga mau menyambut
mahasiswa yang wajahnya pasti penuh
kerutan itu sendirian.” Ucap Maya, tidak
ketinggalan mengedipan matanya.
“Ahh,
May..Sampai kapan kamu ngga menghina anak-anak yang berhubungan dengan eksak?”
“Sampai
aku melihat anak eksak yang wajahnya tidak penuh kerutan karena terlalu
serius.”
“Terserah
kamu sajalah May.”
***
Hari
senin ini UGM kedatangan mahasiswa studi banding dari ITS, seperti biasa seluruh pengurus BEM
bersiap-siap menyambut kedatangan mereka
dari mulai pemberian sambutan hingga menjadi pemandu mereka selama masa studi
banding.
“Maaf ada yang ingin saya tanyakan,
perpustakaan dimana ya?” Reza, sambil menepuk pundak seseorang
“iya,
maaf bisa diulang.” Maya hampir tersentak melihat orang yang dikenalnya
“Kamu?”
“Reza”
Ucap mereka secara bersamaan.
“ Perpustaakan
dimana?”
Maya yang belum sepenuhnya percaya dengan
kehadiran Reza, masih terdiam.
“Hey!!”
setengah menaikan suaranya satu oktaf lebih tinggi mungkin membuat maya
langsung tersadar.
“Ahh..
iya maaf, disana. Tapi, kamu itu ngga berubah ya, ada orang lagi ngasih
sambutan malah mau kabur gitu aja.”
“kamu juga ngga berubah, cerewet itu kapan kadarnya
akan berkurang. Dimana perpusnya? Aku
mau kesana daripada dengerin sambutuan yang terlalu lama mending juga baca buku di perpus.”
“Dari
sini, kamu lurus terus pas nanti diluar kamu belok ke kanan ada taman, nah perpusnya deket taman. Perlu dianterin?” ujar Maya, sembari menawarkan diri
“Ngga perlu, aku bisa kesana sendiri. Makasih.”
Reza berjalan menjauhi Maya yang masih
menikmati siluet punggung yang samar-samar mulai menghilang. Maya sejak dulu
hanya mampu menikmati siluet itu, siluet punggung yang membuat Maya terpacu
untuk bisa sejajar dengan punggung itu.
***
“Maya,
sini!” Maya mencoba mencari sumber suara
Dea. Dan ketika menemukan Dea, seperti tercekik secara tiba-tiba, sulit sekali
untuk Maya bernafas melihat Dua orang yang di sayangi begitu akrab. Tidak
sadarkah Dea bahwa seseorang yang selalu maya ceritakan di setiap perkataanya
adalah Reza?.
“Ahh,
iya. Apa kalian memangilku?”
“Iya May,
sini duduk.” Ujar Dea dan menunjukan tempat dimana Maya bisa duduk.
“Reza,
maya ini suka sekali sastra loh. Kamu bisa minta bantuan Maya buat bikin essayb
cerita tentang Fisika Kuantum dan Sastra, ya kan May?”
“Iya,
aku akan bantu kamu. Kapan Deadline nya?”
“Lusa.”
“Lusa?
Ko cepet banget Za?
“Iya,
makanya aku juga bingung udah gak begitiu bisa nulis essay, ditambah ada
sastranya pula. Emang sejak kapan Fisika Kuantum sama Satra bisa di sejajarin?”
“Bukan
hanya disejajarkan, aku bisa membuat mereka bersama. Aku pergi dulu ya.” Gumamku, sambil meninggalkan mereka
“Makasih
Maya.” Kata Reza, yang nyaris tak terdengar ditelinga Maya
Apakah
dia yang dimaksud Dea akhir-akhir ini, seseorang yang menurutnya sama seperti Petrichor yang selalu aku
ceritakan. Baru kali ini aku melihat Dea begitu senang selain denganku, begitu
pula Reza. Harus aku akui hanya Dea yang mampu membuatnya berbicara panjang
lebar dan tertawa lepas. Mereka berdua, benarkah mereka merasa nyaman? Lalu
bagaimana denganku, tak bisakah aku yang menggantikan posisi Dea, 5 menit saja
setidaknya aku pernah merasakan sikap hangatmu itu.
“Ini,
sudah aku buatkan Essay Fisika Kuantum dan Satra.” Kataku, sambil menyodorkan
laporan essay
“Te-terimakasih”
ucapnya yang terbata dan terlihat gugup mungkin tapi terlihat jelas senyum yang
terukir disana.
“iya,
sama-sama.” Jawabku sambil membalas senyumnya dan pergi meninggalkanya
Benarkah
ia tersenyum? Ini bahkan tidak pernah terlintas dalam khayalan tertinggiku
sekalipun, ia tersenyum karena aku. Iya benar aku dapat membuatnya tersenyum
kepadaku.
Entah
sejak kapan aku selalu melihat berdua seperti Lichenes jika ada Reza bisa
dipastikan ada Dea begitu pula sebaliknya. Awalnya aku selalu menghindari
mereka, jangankan bersama mereka, hanya melihat mereka dari kejauhan saja bisa
menjadikan aku sesak seketika.
Butuh
waktu lebih dari satu bulan melatih pertahananku, agar aku tidak menangis di
hadapan mereka. Setelah terbiasa dengan kebersaan mereka, aku memberanikan
mengobrol ketika mereka bersama.
“De, apa harus sesakit ini mencintai?” tanyaku
pada Dea yang tanpa sadar aku setetes air mata justru lolos dari pelupuk mataku
“May,
kenapa? Jangan nangis ya, siapa sih yang kamu suka bilang ke aku biar aku yang
bilang ke anak itu.”
“Aku
tidak apa-apa kok, aku bukan kamu princess Dea. Bagaimana aktingku bagus bukan?
Ahh..aku yakin setelah ini aku pasti mendapat tawaran main film box office.” Ujarku,
dengan tawa yang dibuat-buat
“Ahh..Maya
kamu ini. Iya nanti, main di box office jadi power ranger yang pake topeng!”
gerutu Dea dengan gaya mengejeknya
“Dea,
tidak bisakah kau tidak mengacaukan khayalanku indahku sebentar saja.” Tkataku
dengan suara yang nyaring sempurna
Aku
takut, menyakkiti orang-orang terdekatku. Aku takut jika aku mengatakan yang
sebenanrnya dia akan semakin menjauh dariku. Lebih baik seperti ini bukan? Aku
adalah fansmu Reza, dan seorang fans yang baik tidak bersikap egois atas
kehendak dirinya sendiri
.
***
Entah
sudah berapa lama ia berada disini, yang aku tau besok adalah hari
terakhirnya disini dan setelah ini dia
akan kembali ke universitasnya. 5 bulan aku melewatinya, senang dan sedih
selalu menjadi hasilnya. Aku sedih karena perempuan yang dapat berjalan
beriringan denganya bukanlah aku tetapi sahabatku Dea dan aku
senang meskipun aku tak dapat sejajar denganya aku mampu membuatnya
tersenyum dan berbicara lebih banyak dari biasannya.
Sejak pertama kali masuk sma dan mama
bercerita tentang petrichor kepadaku, aku selalu menggap dia seperti petrichorkku. Dan sejak aku Dea bertemu
Reza ia menggangap bahwa Reza persis sekali petrichor yang selalu ku ceritakan.
Aku bahkan masih mengingat jelas ucapan Dea yang menggatakan bahwa Reza seperti
Petrichor.
“Kau
tau Maya, kali ini aku setuju denganmu
bahwa Petrichor itu menenangkan, Reza seperti petrichor yang membuat aku
tenang dan nyaman.” Katanya yang membuatku
sempurna seperti patung
Cukup bagiku melihat mereka tersenyum,
masalah perasaanku biar saja aku yang menanggungya. Mungkin ini takdirku, tempatku
tetap berada dibelakangnya dan menatap siluet punggungnya agar aku tetap
bermimpi, agar aku tetap terpacu menjadi lebih baik lagi dan agar aku menjadi
berharga. Dia memang bukan hujan pertama yang menimbulkan aroma tanah yang
menenangkan itu, tapi rasanya seperti hujan dan tanah selalu baru pertama kali
bertatap muka.
Kau tahu? Cinta itu tidak memiliki,
semua orang bebas merasakannya, menyimpannya.
Jangan
di jiplak, di copas, atau apapun itu namanya ya.. capek nih kalau cerpennya di copas terus. Ayo gunain
kreativitas masing-masing ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar