Minggu, 08 Maret 2015

Petrichor







Bukan hujan pertama memang, tapi rasanya seperti pertama kali bertatap muka.



Hasil gambar untuk petrichor


       “Kamu pernah mencium bau tanah ketika hujan baru turun? Aroma teduh, aroma pengingat bahwa butir-butir air mulai turun. Aroma hujan, begitu aku menyebutnya. Aroma yang kuhirup dalam-dalam ketika masih bocah. Aroma yang terus mengingatkan aku pada masa itu, tiap kali aku menciumnya, sampai detik ini.

Namanya petrichor.

Berasal dari bahasa Yunani, petros (batu) dan ichor (air). Apapun istilahnya, kamu pasti pernah menghirupnya. Sengaja ataupun tak sengaja.

Begitu pula aku. Tak jarang, memoriku ter-recall setelah mendengar stimulasi dari telinga. Ya, namanya musik. Atau dari penglihatan kedua mataku. Tapi sangat jarang terjadi bila kenangan terpanggil kembali dari rangsangan hidung.

 Dan itulah indahnya petrichor. Aroma tanah bercampur air hujan, yang kata ibuku adalah bau debu yang terbang karena terhantam butiran air, menghidupkan banyak gambaran masa lalu di kepalaku.” Ungkap Maya 

“Okeh, baiklah kamu selalu berbicara sesuatu yang tidak aku mengerti. May, besok jadi ada mahasiswa dari ITS yang akan melakukan studi banding disini ya? berapa lama mereka disini?” Tanya Dea

“Iya, 1 semester mungkin. Besok kamu harus berangkat ya De, aku ngga mau menyambut mahasiswa  yang wajahnya pasti penuh kerutan itu  sendirian.” Ucap Maya, tidak ketinggalan mengedipan matanya.

“Ahh, May..Sampai kapan kamu ngga menghina anak-anak yang berhubungan dengan eksak?”
“Sampai aku melihat anak eksak yang wajahnya tidak penuh kerutan karena terlalu serius.”
“Terserah kamu sajalah May.”

***

     Hari senin ini UGM kedatangan mahasiswa studi banding dari  ITS, seperti biasa seluruh pengurus BEM bersiap-siap  menyambut kedatangan mereka dari mulai pemberian sambutan hingga menjadi pemandu mereka selama masa studi banding.

 “Maaf ada yang ingin saya tanyakan, perpustakaan dimana ya?” Reza, sambil menepuk pundak seseorang

“iya, maaf bisa diulang.” Maya hampir tersentak melihat orang yang dikenalnya

“Kamu?”

“Reza” 

 Ucap mereka secara bersamaan.

“ Perpustaakan dimana?”

 Maya yang belum sepenuhnya percaya dengan kehadiran Reza, masih terdiam.

“Hey!!” setengah menaikan suaranya satu oktaf lebih tinggi mungkin membuat maya langsung tersadar.

“Ahh.. iya maaf, disana. Tapi, kamu itu ngga berubah ya, ada orang lagi ngasih sambutan malah mau kabur gitu aja.”

“kamu  juga ngga berubah, cerewet itu kapan kadarnya akan berkurang.  Dimana perpusnya? Aku mau kesana daripada dengerin sambutuan yang terlalu  lama mending juga baca buku di perpus.”

“Dari sini, kamu lurus terus pas nanti diluar kamu belok ke kanan ada  taman, nah perpusnya deket taman. Perlu  dianterin?” ujar  Maya, sembari menawarkan diri

“Ngga  perlu, aku bisa kesana sendiri. Makasih.”

        Reza berjalan menjauhi Maya yang masih menikmati siluet punggung yang samar-samar mulai menghilang. Maya sejak dulu hanya mampu menikmati siluet itu, siluet punggung yang membuat Maya terpacu untuk bisa sejajar dengan punggung itu. 

 ***

“Maya, sini!” Maya  mencoba mencari sumber suara Dea. Dan ketika menemukan Dea, seperti tercekik secara tiba-tiba, sulit sekali untuk Maya bernafas melihat Dua orang yang di sayangi begitu akrab. Tidak sadarkah Dea bahwa seseorang yang selalu maya ceritakan di setiap perkataanya adalah Reza?.

“Ahh, iya. Apa kalian memangilku?”

“Iya May, sini duduk.” Ujar Dea dan menunjukan tempat dimana Maya bisa duduk.

“Reza, maya ini suka sekali sastra loh. Kamu bisa minta bantuan Maya buat bikin essayb cerita tentang Fisika Kuantum dan Sastra, ya kan May?”

“Iya, aku akan bantu kamu. Kapan Deadline nya?”

“Lusa.”

“Lusa? Ko cepet banget Za?

“Iya, makanya aku juga bingung udah gak begitiu bisa nulis essay, ditambah ada sastranya pula. Emang sejak kapan Fisika Kuantum sama Satra bisa di sejajarin?”

“Bukan hanya disejajarkan, aku bisa membuat mereka bersama. Aku pergi  dulu ya.” Gumamku, sambil meninggalkan mereka

“Makasih Maya.” Kata Reza, yang nyaris tak terdengar ditelinga Maya

     Apakah dia yang dimaksud Dea akhir-akhir ini, seseorang yang menurutnya sama seperti                Petrichor yang selalu aku ceritakan. Baru kali ini aku melihat Dea begitu senang selain denganku, begitu pula Reza. Harus aku akui hanya Dea yang mampu membuatnya berbicara panjang lebar dan tertawa lepas. Mereka berdua, benarkah mereka merasa nyaman? Lalu bagaimana denganku, tak bisakah aku yang menggantikan posisi Dea, 5 menit saja setidaknya aku pernah merasakan sikap hangatmu itu.

“Ini, sudah aku buatkan Essay Fisika Kuantum dan Satra.” Kataku, sambil menyodorkan laporan essay 

“Te-terimakasih” ucapnya yang terbata dan terlihat gugup mungkin tapi terlihat jelas senyum yang terukir disana.

“iya, sama-sama.” Jawabku sambil membalas senyumnya dan pergi meninggalkanya

        Benarkah ia tersenyum? Ini bahkan tidak pernah terlintas dalam khayalan tertinggiku sekalipun, ia tersenyum karena aku. Iya benar aku dapat membuatnya tersenyum kepadaku.

       Entah sejak kapan aku selalu melihat berdua seperti Lichenes jika ada Reza bisa dipastikan ada Dea begitu pula sebaliknya. Awalnya aku selalu menghindari mereka, jangankan bersama mereka, hanya melihat mereka dari kejauhan saja bisa menjadikan aku sesak seketika. 

       Butuh waktu lebih dari satu bulan melatih pertahananku, agar aku tidak menangis di hadapan mereka. Setelah terbiasa dengan kebersaan mereka, aku memberanikan mengobrol ketika mereka bersama. 

 “De, apa harus sesakit ini mencintai?” tanyaku pada Dea yang tanpa sadar aku setetes air mata justru lolos dari pelupuk mataku

“May, kenapa? Jangan nangis ya, siapa sih yang kamu suka bilang ke aku biar aku yang bilang ke anak itu.”

“Aku tidak apa-apa kok, aku bukan kamu princess Dea. Bagaimana aktingku bagus bukan? Ahh..aku yakin setelah ini aku pasti mendapat tawaran main film box office.” Ujarku, dengan tawa yang dibuat-buat

“Ahh..Maya kamu ini. Iya nanti, main di box office jadi power ranger yang pake topeng!” gerutu Dea dengan gaya mengejeknya

“Dea, tidak bisakah kau tidak mengacaukan khayalanku indahku sebentar saja.” Tkataku dengan suara yang nyaring sempurna

      Aku takut, menyakkiti orang-orang terdekatku. Aku takut jika aku mengatakan yang sebenanrnya dia akan semakin menjauh dariku. Lebih baik seperti ini bukan? Aku adalah fansmu Reza, dan seorang fans yang baik tidak bersikap egois atas kehendak dirinya sendiri
.
***

     Entah sudah berapa lama ia berada disini, yang aku tau besok adalah hari terakhirnya  disini dan setelah ini dia akan kembali ke universitasnya. 5 bulan aku melewatinya, senang dan sedih selalu menjadi hasilnya. Aku sedih karena perempuan yang dapat berjalan beriringan denganya bukanlah aku tetapi sahabatku Dea  dan aku  senang meskipun aku tak dapat sejajar denganya aku mampu membuatnya tersenyum dan berbicara lebih banyak dari biasannya.

      Sejak pertama kali masuk sma dan mama bercerita tentang petrichor kepadaku, aku selalu menggap dia  seperti petrichorkku. Dan sejak aku Dea bertemu Reza ia menggangap bahwa Reza persis sekali petrichor yang selalu ku ceritakan. Aku bahkan masih mengingat jelas ucapan Dea yang menggatakan bahwa Reza seperti Petrichor.

“Kau tau Maya, kali ini aku setuju denganmu  bahwa Petrichor itu menenangkan, Reza seperti petrichor yang membuat aku tenang dan nyaman.” Katanya yang membuatku  sempurna seperti patung

     Cukup bagiku melihat mereka tersenyum, masalah perasaanku biar saja aku yang menanggungya. Mungkin ini takdirku, tempatku tetap berada dibelakangnya dan menatap siluet punggungnya agar aku tetap bermimpi, agar aku tetap terpacu menjadi lebih baik lagi dan agar aku menjadi berharga. Dia memang bukan hujan pertama yang menimbulkan aroma tanah yang menenangkan itu, tapi rasanya seperti hujan dan tanah selalu baru pertama kali bertatap muka.




    Kau tahu?  Cinta itu tidak memiliki, semua orang bebas merasakannya, menyimpannya.




 
Jangan di jiplak, di copas, atau apapun itu namanya ya.. capek nih  kalau cerpennya di copas terus. Ayo gunain kreativitas masing-masing ^^




Tidak ada komentar: