Selasa, 03 Maret 2015

Anyelir




 




Aku ingin laki-laki seperti Ayah.
Dingin saat menghadapi dunia, tapi hangat saat di hadapan Bunda.
Tapi bisakah aku menemukannya.
Aku tahu laki-laki seperti itu sangat langka.
Apa kau tahu?
Dia adalah laki-laki yang paling aku sukai.
Dia selalu membuatku menangis dan tertawa karena sikap dinginya.
Tapi aku menyukainya.
Sangat menyukainya.

     Tiba-tiba perhatianku tertuju pada seorang laki-laki yang sedang membaca di pojok ruang perpustakaan. Dia seorang lelaki berperawakan tinggi, dia bukanlah the most wanted guy di sekolah. Dia sosok yang tampan untukku. Dia, laki-laki dengan gaya berpakaian conservative yang membosankan dengan wajah baby-face nya membuatku sering kali mencuri pandanganku ke arahnya. Dia lelaki yang sering menggunakan blazer ala organisasi kami kemanapun dan mungkin aku adalah satu-satunya perempuan yang mengakui bahwa “dia dengan blazernya lebih tampan dari biasanya.”

   Dia dengan fisika-nya, kimia-nya dan pelajaran eksak lainya. Dia dengan kerutan yang terdapat di keningnya, Dia dengan wajah seriusnya ketika memecahkan soal matematika, Aku hafal betul. Ah, aku tersenyum mengingatnya.

    Aku Dian Anyelir dan laki-laki yang sedang mengerjakan soal matematika di pojok perpustakaan itu bernama Dimas Akalil . Sudah 3 tahun sejak pertama kali aku memasuki masa sma aku selalu memperhatikannya dan mengaguminya diam-diam. Terlebih sekarang ini aku berada satu kelas dan duduk tepat didepan nya. Entah bagaimana aku mendefinisikan nya, rasa itu bahkan tidak bisa didefinisikan dengan kalimat apapun.

***

 “Anye, aku boleh minta tolong? Aku kesulitan mengerjakan soal bahasa indonesia ini.” Ujar Dimas

“ ya udah sini.” Seraya merebut kertas try out milik Dimas

“Tau kamu mengapa aku menyayangi kamu lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Kutipan yang familiar, Dian  mengerutkan dahinya. Aku mngetuk-ngetukan telunjukku di dagu.

“Jawabannya C.” Kataku sambil menyodorkan soal try  out bahasa indonesia pada Dimas

“Oke, makasih anye.” Dimas kembali ke tempat duduknya.

           Dia, ya dia hanya akan berbicara padaku jika ada perlu nya saja. Bahkan setiap kali membacakan  hasil presentasi atau berpidato untuk memenuhi tugas praktek, aku rasa hanya Dimas yang tidak pernah menatapku dan bertepuk tangan untukku.
     Tiba-tiba nada sms dari hp ku berdering. Dan saat ku lihat layar handpone ku..ah, apa aku sedang bermimpi? Seorang Dimas Alkalil mengirim pesan singkat untukku?
 “Dian Anyelir? Ini aku Dimas Alkalil ”

 “Iya, ada apa?”

“Tidak ada apa-apa. Hanya ingin bertanya, apa kau memiliki impian? Selama aku mengenalmu aku tidak pernah memahami cita-citamu, itu?"

“Untuk apa bertanya tentang impianku?”

“Untuk memastikan kalau kamu tidak hanya menjadi seoang pemimpi.”

“Ya, aku memiliki impian. Tapi, aku sudah mengubur impianku.”

“Baiklah, aku tidak akan mencampuri hidupmu lagi kalau kamu mau membuatkan aku sebuah cerpen yang memiliki nilai sastra.”

“Kenapa aku harus membuatkannya untukmu? Kurang dari 1 bulan lagi UN akan diadakan.”
Kataku, mengeryitkan dahi memandang dimas dengan tatapan penuh tanya

“Aku tau, dan aku yakin kamu bisa menyelesaikannya dalam waktu semalam. Good Luck Anye.”

           Aku bingung apa yang harus aku lakukan, membuatkan nya cerpen? Sudah lama aku tidak menulis, entah sudah sejauh apa juga aku mencoba menjauhi sastra. Tapi aku akan berusaha menuliskan cerpen untuknya, aku tidak peduli hasilnya, mungkin akan buruk mengingat aku sudah terlalu lama meninggalkan dan mengubur segala hal tentang menulis terlebih yang berhubungan dengan sastra karya sastra.

***

“Ini, aku membuatkan 2 cerpen untuk kamu, semoga tidak terlalu buruk.” aku menyodorkan beberapa lembar kertas yang penuh dengan coretan.

“Terimakasih. Pasti butuh perjuangan besar buat kamu bikin cerpen-cerpen ini.” Ujar Dimas seraya mengambil beberapa lembar kertas dari tangan Anye.

“ Ahh, Iya sama-sama.” Jawabku, sambil tersenyum

          Entah mengapa jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, setiap kali berdekatan denganya jantungku memang selalu terpacu lebih cepat. Tapi, kali ini berbeda ada rasa was-was berharap Dimas akan menyukai cerpen yang aku buat. Ya, aku ingat betul sulitnya membuat cerpen setelah sekian lama aku meninggalkan dunia yang aku sukai itu. Bahkan butuh waktu 2 jam untuk memikirkan judul nya saja. Sungguh menjengkelkan, sampai aku menemukan judul yang cocok dengan cerpen yang aku buat. Ya, aku memilih Friend Zone dan Hujan Bulan Juni sebagai judul dari cerpen yang aku buat.

“Anye!” 

      Suara yang mengagetkanku  bahkan membatku tersedak ketika minum.

“Iya, ada apa?” Jawabku yang masih tebatuk

“Maaf, Apa yang kamu pikirkan? sejak tadi kamu hanya melamun saja.”

“Tidak berpikir apa-apa, kecuali...”

“Memikirkan cerpen yang kamu buat, bagus atau tidak?” Sambarnya dengan cepat

“Hah? Ahhh iya, aku memikirkan itu.” Jawabku asal

“Anye? ” Ujarnya denga tiba-tiba Dimas duduk didepanku

“i..iya, apa?” jawabku terlihat gugup sekali mungkin, aku benci pacuan jantungku bahkan tidak dapat aku kontrol.

“Setelah KBM selesai jangan pulang dulu yah. Ada yang pengin aku bicarain sama kamu.” Ungkap Dimas, lantas pergi begitu saja meninggalkanku yang masih kebingungan.

     Benarkah dia Dimas? Manusia es itu, apa sekarang ada kehangatan yang bisa mencairkan sifat dinginya itu. Ahh, semakin dipikirkan justru semakin memusingkan. Lebih baik aku turuti saja apa maunya selama itu tidak mengangguku.

     Jam KBM telah selesai, aku tidak beranjak dari tempat duduk karena aku ingat memiliki janji dengan Dimas unntuk bertemu dengannya di  Taman sekolah.

“Anye? ” Dimas memanggilku

“Iya Dim, ada apa ya? kayanya penting banget.” Kataku dengan tatapan serius

“Anye, Kenapa kamu melepaskan impianmu? Kenapa kamu menggangap remeh bakat yang kamu miliki? Kenapa kamu enggan bermimpi lagi? Bangunlah, Kamu tau? Tidak semua orang sepertimu, terlahir dengan bakat istimewa. Mampu berimajinasi dengan baik, memadukan kata dengan sangat apik, dan berfilosofi.”

“Dimas..?” Tiba-tiba pertahanan yang aku buat selama ini, hancur begitu saja. Entah mengapa aku tidak dapat lagi membendung tangisan yang selama ini ingin aku luapkan.

“Dian Anyelir, menangislah. Setelah ini kamu harus berjanji kan bangkit dan terus tersenyum. Kmau harus kembangin bakat kamu, dan gapai impianmu.” Ungkapnya sambil memberikan aku sapu tangan untuk menyeka air mataku yang justru membuatku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah tidak peduli lagi  rasa malu karena aku menangis sesengukan rarsanya seperti ada ada hujan yang turun di musim kemarau secara tiba-tiba, sejuk tenang.

“Dimas, kamu tau apa arti nama Dian Anyelir?" ungkapku, tiba-tiba setelah tangisku mereda

“Tidak, untuk Dian. Tapi Anyelir bukankah itu nama bunga?Yang aku tau bunga Anyelir adalah lambang keabadian Cinta.” Jawabnya dengan mata berbinar dan seulas senyum jelas tercetak disana, senyum yang tidak pernah aku lihat selama ini, senyum yang bisa membuat siapapun melihatnya merasa tentram.

“kamu bener Dim, sedangkan Dian diambil dari nama latin bunga Anyelir merah. Aku ingat betul sebelum mama meninggalkanku mama berkata bahwa aku akan menjadi cinta abadi terlebih untuk orang-orang didekatku. Tapi, harapan bunga Anyelir sepertinya tidak berdampak pada Ayah.” Jelasku pada Dimas

“Ayah, maksud kamu..?”

 “Selama masa hidup ibu, aku menggenal ayah sebagai sosok yang begitu  hangat, iya juga tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum dan memanjakanku. Sepeninggal ibu, ayah pergi meninggalkanku. Dan dia berkata menyesal menikah dengan ibu yang terlalu lemah dan memiliki anak seperti aku yang ternyata begitu mirip dengan ibu. Sejak saat itu aku berprinsip tidak akan seperti ibu, aku akan menggubah diriku agar ayah kembali padaku.” Penjelasanku, tanp sadar pertahankku muai getir lagi

“Anye, apakah kamu tau membayangkan ibumu sama seperti membayangkanmu. Kalian berdua pasti  perempuan yang sangat hebat dan kuatnya. Kamu tau, mungkin ibumu begitu kuat melebihi siapapun, kenapa kamu tidak ingin menajadi sehebat dia? Teruslah menulis, kejarlah impianmu dan buktikan pada ayahmu jika kau hebat dan mampu menjadi kebanggaanya, dengan cara itu ayahmu pasti akan kembali padamu.” Uja Dimas
Masih dengan seulas senyum yang tecetak disana.

“ Apa benar dengan seperti itu, ayah bisa kembali kepadaku? ” jawabkku dengan penuh pengharapan

“Insya’Allah, buktikanlah kalau kamu bisa.”

“Tapi aku takut dengan ucapan dan pandangan orang-orang tentang impianku.” Ujarku dengan nada khawatir

“Ketika kamu bermimpi, tutuplah telinga dan matamu sampai kamu mampu terbang dan tersenyum bersama impianmu itu. Jika itik bururk rupa saja berani bermimpi menjadi seekor angsa cantik, kenapa Anyelir tidak bisa memekarkan lagi bunganya?” 

“Baiklah, mulai saat ini aku berjanji akan menjaga harta terpendam (impian) dalam hatiku itu, tidak akan membiarkan siapapun berhasil membuatku lumpuh dan akan aku buktikan kepada orang-orang Anyelir yang sempat layu ini kan kembali mekar dengan indah. Terima kasih Dimas Alkil.”

“Sama-sama, sekarang kau harus fokus UN dan bijak dalam memilih perguruan tinggi yang nanti akan menjadi tujuanmu.”

“Iya. Aku pulang dulu yah” kataku mantap dan berjalan pergi meninnggalkan Dimas 

“Iya, take care.”  Jawab Dimas sambil melambaikan tangannya.

***

         Hari kelulusan telah tiba, semuanya bersorak dengan penuh kebahagiaan. Aku juga bahagia, tapi ini tanda berakhirnya masa sma-ku. Mataku berusaha mencari sosok yang sangat ingin aku temui, mungkin untuk terakhir kalinya. Dan, kini mataku tertuju pada lelaki yang sedang berdiam diri di lapangan basket.
“Dimas?” panggilku

“Ahh, Anye ada apa? Ohh iya aku boleh tanda tangan di baju kamu ngga?”

“Boleh” Jawabku secepat kilat
“Tapi bajuu masih bersih, apa tidak apa-apa. Ada tempat ngga nih?”

“Iya, selalu ada tempat kok buat kamu?”

“Hmm, dimana?”

“Disini aja ya.”  ujarku sambil menunjukan bagian baju bawahku.

“Udah? Aku boleh ngga tanda tangan di baju kamu?”

“Boleh, kamu tanda tangan di kerah baju aja ya, sudah penuh sama tanda tangan anak-anak nih baju.” Jelasnya, sambil berbalik dan menunjukan kerah bagian belakang tempat aku akan mencoret baju sma-nya dengan tanda tanganku.

“Udah. Dim, kamu mau lanjut dimana?” tanyaku, sedikit ragu tapi aku beranikan diriku
“Di IPB, akhirnya aku akan menikmati indahnya kota bogor setiap hari. Kamu An?” jawabnya dengan perasaan begitu bahagia

“a-aku? Di UGM.” Jawabku, dan entah kenapa aku ingin sekali menangis tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis di depan Dimas.

“oh, kamu  mau di Jogja ya?”

“Iya. Dimas, seberapa jauh jarak Jogja ke Bogor? “ Entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu muncul di benakku.

“Tidak terlalu jauh kok, kenapa Anye?” jawabnya dengan seulas senyum yang mungkin tidak akan dapat ku lihat lagi.

“Tidak apa-apa. Dimas, aku pengin lihat  suatu  saat nanti  kamu tersenyum dengan impianmu. Terima kasih karena telah menjadi bagian sma ini, terima kasih untuk segalanya.” Ucapku sambil berjalan mencoba menjauh darinya karena isak tanggisku tidak dapat ku tahan.

“Iya, terima kasih juga untuk semuanya. Aku berharap ketika aku ada di toko buku ada nama kamu disana sebagai seorang penulis dan buatlah ayah kamu kembali ke pelukan kamu Dian Anyelir.” 

“aku berjanji untuk semua itu Dimas Alkalil.” 
 
 Terima kasih Dimas Alkalil, aku bersyukur mencintaimu jika pada akhirnya rasa cinta justru membuatku ingin terlihat pantas dan sejajar  denganmu, kau menggubahku dari gadis pemimpi, pemurung, cengeng yang selalu merasa salah tempat dan putus asa ini menjadi gadis yang begitu berharga.

-END-



 
Jangan di jiplak, di copas, atau apapun itu namanya ya.. capek nih  kalau cerpennya di copas terus. Ayo gunain kreativitas masing-masing ^^


Tidak ada komentar: