Aku ingin laki-laki seperti Ayah.
Dingin saat menghadapi dunia, tapi
hangat saat di hadapan Bunda.
Tapi bisakah aku menemukannya.
Aku tahu laki-laki seperti itu sangat
langka.
Apa kau tahu?
Dia adalah laki-laki yang paling aku
sukai.
Dia selalu membuatku menangis dan
tertawa karena sikap dinginya.
Tapi aku menyukainya.
Sangat menyukainya.
Tiba-tiba
perhatianku tertuju pada seorang laki-laki yang sedang membaca di pojok ruang
perpustakaan. Dia seorang lelaki berperawakan tinggi, dia bukanlah the most
wanted guy di sekolah. Dia sosok yang tampan untukku. Dia, laki-laki dengan
gaya berpakaian conservative yang membosankan dengan wajah baby-face nya
membuatku sering kali mencuri pandanganku ke arahnya. Dia lelaki yang sering
menggunakan blazer ala organisasi kami kemanapun dan mungkin aku adalah satu-satunya perempuan
yang mengakui bahwa “dia dengan blazernya lebih tampan dari biasanya.”
Dia dengan
fisika-nya, kimia-nya dan pelajaran eksak lainya. Dia dengan kerutan yang
terdapat di keningnya, Dia dengan wajah seriusnya ketika memecahkan soal
matematika, Aku hafal betul. Ah, aku tersenyum mengingatnya.
Aku Dian
Anyelir dan laki-laki yang sedang mengerjakan soal matematika di pojok
perpustakaan itu bernama Dimas Akalil . Sudah 3 tahun sejak pertama kali aku
memasuki masa sma aku selalu memperhatikannya dan mengaguminya diam-diam.
Terlebih sekarang ini aku berada satu kelas dan duduk tepat didepan nya. Entah bagaimana aku mendefinisikan nya, rasa itu bahkan tidak bisa
didefinisikan dengan kalimat apapun.
***
“Anye, aku
boleh minta tolong? Aku kesulitan mengerjakan soal bahasa indonesia ini.” Ujar
Dimas
“ ya udah sini.” Seraya merebut kertas try out milik
Dimas
“Tau kamu mengapa aku menyayangi kamu lebih dari
siapapun? Karena kau menulis. Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi,
sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Kutipan yang familiar, Dian mengerutkan dahinya. Aku mngetuk-ngetukan
telunjukku di dagu.
“Jawabannya C.” Kataku sambil menyodorkan soal
try out bahasa indonesia pada Dimas
“Oke, makasih anye.” Dimas kembali ke tempat duduknya.
Dia,
ya dia hanya akan berbicara padaku jika ada perlu nya saja. Bahkan setiap kali
membacakan hasil presentasi atau berpidato
untuk memenuhi tugas praktek, aku rasa hanya Dimas yang tidak pernah menatapku
dan bertepuk tangan untukku.
Tiba-tiba
nada sms dari hp ku berdering. Dan saat ku lihat layar handpone ku..ah, apa aku
sedang bermimpi? Seorang Dimas Alkalil mengirim pesan singkat untukku?
“Dian Anyelir?
Ini aku Dimas Alkalil ”
“Iya, ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya ingin bertanya, apa kau
memiliki impian? Selama aku mengenalmu aku tidak pernah memahami cita-citamu,
itu?"
“Untuk apa bertanya tentang impianku?”
“Untuk memastikan kalau kamu tidak hanya menjadi
seoang pemimpi.”
“Ya, aku memiliki impian. Tapi, aku sudah mengubur
impianku.”
“Baiklah, aku tidak akan mencampuri hidupmu lagi kalau
kamu mau membuatkan aku sebuah cerpen yang memiliki nilai sastra.”
“Kenapa aku harus membuatkannya untukmu? Kurang dari 1
bulan lagi UN akan diadakan.”
Kataku, mengeryitkan dahi memandang dimas dengan
tatapan penuh tanya
“Aku tau, dan aku yakin kamu bisa menyelesaikannya
dalam waktu semalam. Good Luck Anye.”
Aku bingung apa yang harus aku lakukan,
membuatkan nya cerpen? Sudah lama aku tidak menulis, entah sudah sejauh apa
juga aku mencoba menjauhi sastra. Tapi aku akan berusaha menuliskan cerpen
untuknya, aku tidak peduli hasilnya, mungkin akan buruk mengingat aku sudah
terlalu lama meninggalkan dan mengubur segala hal tentang menulis terlebih yang
berhubungan dengan sastra karya sastra.
***
“Ini, aku membuatkan 2 cerpen untuk kamu, semoga tidak
terlalu buruk.” aku menyodorkan beberapa lembar kertas yang penuh dengan
coretan.
“Terimakasih. Pasti butuh perjuangan besar buat kamu
bikin cerpen-cerpen ini.” Ujar Dimas seraya mengambil beberapa lembar kertas
dari tangan Anye.
“ Ahh, Iya sama-sama.” Jawabku, sambil tersenyum
Entah
mengapa jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, setiap kali berdekatan
denganya jantungku memang selalu terpacu lebih cepat. Tapi, kali ini berbeda
ada rasa was-was berharap Dimas akan menyukai cerpen yang aku buat. Ya, aku
ingat betul sulitnya membuat cerpen setelah sekian lama aku meninggalkan dunia
yang aku sukai itu. Bahkan butuh waktu 2 jam untuk memikirkan judul nya saja.
Sungguh menjengkelkan, sampai aku menemukan judul yang cocok dengan cerpen yang
aku buat. Ya, aku memilih Friend Zone dan Hujan Bulan Juni sebagai judul dari
cerpen yang aku buat.
“Anye!”
Suara yang
mengagetkanku bahkan membatku tersedak
ketika minum.
“Iya, ada apa?” Jawabku yang masih tebatuk
“Maaf, Apa yang kamu pikirkan? sejak tadi kamu hanya
melamun saja.”
“Tidak berpikir apa-apa, kecuali...”
“Memikirkan cerpen yang kamu buat, bagus atau tidak?”
Sambarnya dengan cepat
“Hah? Ahhh iya, aku memikirkan itu.” Jawabku asal
“Anye? ” Ujarnya denga tiba-tiba Dimas duduk didepanku
“i..iya, apa?” jawabku terlihat gugup sekali mungkin,
aku benci pacuan jantungku bahkan tidak dapat aku kontrol.
“Setelah KBM selesai jangan pulang dulu yah. Ada yang
pengin aku bicarain sama kamu.” Ungkap Dimas, lantas pergi begitu saja
meninggalkanku yang masih kebingungan.
Benarkah
dia Dimas? Manusia es itu, apa sekarang ada kehangatan yang bisa mencairkan
sifat dinginya itu. Ahh, semakin dipikirkan justru semakin memusingkan. Lebih
baik aku turuti saja apa maunya selama itu tidak mengangguku.
Jam KBM
telah selesai, aku tidak beranjak dari tempat duduk karena aku ingat memiliki
janji dengan Dimas unntuk bertemu dengannya di
Taman sekolah.
“Anye? ” Dimas memanggilku
“Iya Dim, ada apa ya? kayanya penting banget.” Kataku
dengan tatapan serius
“Anye, Kenapa kamu melepaskan impianmu? Kenapa kamu
menggangap remeh bakat yang kamu miliki? Kenapa kamu enggan bermimpi lagi?
Bangunlah, Kamu tau? Tidak semua orang sepertimu, terlahir dengan bakat
istimewa. Mampu berimajinasi dengan baik, memadukan kata dengan sangat apik, dan
berfilosofi.”
“Dimas..?” Tiba-tiba pertahanan yang aku buat selama
ini, hancur begitu saja. Entah mengapa aku tidak dapat lagi membendung tangisan
yang selama ini ingin aku luapkan.
“Dian Anyelir, menangislah. Setelah ini kamu harus
berjanji kan bangkit dan terus tersenyum. Kmau harus kembangin bakat kamu, dan
gapai impianmu.” Ungkapnya sambil memberikan aku sapu tangan untuk menyeka air
mataku yang justru membuatku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah tidak peduli
lagi rasa malu karena aku menangis sesengukan
rarsanya seperti ada ada hujan yang turun di musim kemarau secara tiba-tiba,
sejuk tenang.
“Dimas, kamu tau apa arti nama Dian Anyelir?" ungkapku,
tiba-tiba setelah tangisku mereda
“Tidak, untuk Dian. Tapi Anyelir bukankah itu nama
bunga?Yang aku tau bunga Anyelir adalah lambang keabadian Cinta.” Jawabnya
dengan mata berbinar dan seulas senyum jelas tercetak disana, senyum yang tidak
pernah aku lihat selama ini, senyum yang bisa membuat siapapun melihatnya
merasa tentram.
“kamu bener Dim, sedangkan Dian diambil dari nama
latin bunga Anyelir merah. Aku ingat betul sebelum mama meninggalkanku mama
berkata bahwa aku akan menjadi cinta abadi terlebih untuk orang-orang
didekatku. Tapi, harapan bunga Anyelir sepertinya tidak berdampak pada Ayah.”
Jelasku pada Dimas
“Ayah, maksud kamu..?”
“Selama masa
hidup ibu, aku menggenal ayah sebagai sosok yang begitu hangat, iya juga tidak pernah mengeluh dan
selalu tersenyum dan memanjakanku. Sepeninggal ibu, ayah pergi meninggalkanku.
Dan dia berkata menyesal menikah dengan ibu yang terlalu lemah dan memiliki
anak seperti aku yang ternyata begitu mirip dengan ibu. Sejak saat itu aku
berprinsip tidak akan seperti ibu, aku akan menggubah diriku agar ayah kembali
padaku.” Penjelasanku, tanp sadar pertahankku muai getir lagi
“Anye, apakah kamu tau membayangkan ibumu sama seperti
membayangkanmu. Kalian berdua pasti
perempuan yang sangat hebat dan kuatnya. Kamu tau, mungkin ibumu begitu
kuat melebihi siapapun, kenapa kamu tidak ingin menajadi sehebat dia? Teruslah
menulis, kejarlah impianmu dan buktikan pada ayahmu jika kau hebat dan mampu
menjadi kebanggaanya, dengan cara itu ayahmu pasti akan kembali padamu.” Uja
Dimas
Masih dengan
seulas senyum yang tecetak disana.
“ Apa benar dengan seperti itu, ayah bisa kembali
kepadaku? ” jawabkku dengan penuh pengharapan
“Insya’Allah, buktikanlah kalau kamu bisa.”
“Tapi aku takut dengan ucapan dan pandangan
orang-orang tentang impianku.” Ujarku dengan nada khawatir
“Ketika kamu bermimpi, tutuplah telinga dan matamu sampai
kamu mampu terbang dan tersenyum bersama impianmu itu. Jika itik bururk rupa
saja berani bermimpi menjadi seekor angsa cantik, kenapa Anyelir tidak bisa
memekarkan lagi bunganya?”
“Baiklah, mulai saat ini aku berjanji akan menjaga
harta terpendam (impian) dalam hatiku itu, tidak akan membiarkan siapapun
berhasil membuatku lumpuh dan akan aku buktikan kepada orang-orang Anyelir yang
sempat layu ini kan kembali mekar dengan indah. Terima kasih Dimas Alkil.”
“Sama-sama, sekarang kau harus fokus UN dan bijak
dalam memilih perguruan tinggi yang nanti akan menjadi tujuanmu.”
“Iya. Aku pulang dulu yah” kataku mantap dan berjalan
pergi meninnggalkan Dimas
“Iya, take care.”
Jawab Dimas sambil melambaikan tangannya.
***
Hari
kelulusan telah tiba, semuanya bersorak dengan penuh kebahagiaan. Aku juga
bahagia, tapi ini tanda berakhirnya masa sma-ku. Mataku berusaha mencari sosok
yang sangat ingin aku temui, mungkin untuk terakhir kalinya. Dan, kini mataku
tertuju pada lelaki yang sedang berdiam diri di lapangan basket.
“Dimas?” panggilku
“Ahh, Anye ada apa? Ohh iya aku boleh tanda tangan di
baju kamu ngga?”
“Boleh” Jawabku secepat kilat
“Tapi bajuu masih bersih, apa tidak apa-apa. Ada
tempat ngga nih?”
“Iya, selalu ada tempat kok buat kamu?”
“Hmm, dimana?”
“Disini aja ya.”
ujarku sambil menunjukan bagian baju bawahku.
“Udah? Aku boleh ngga tanda tangan di baju kamu?”
“Boleh, kamu tanda tangan di kerah baju aja ya, sudah
penuh sama tanda tangan anak-anak nih baju.” Jelasnya, sambil berbalik dan
menunjukan kerah bagian belakang tempat aku akan mencoret baju sma-nya dengan
tanda tanganku.
“Udah. Dim, kamu mau lanjut dimana?” tanyaku, sedikit
ragu tapi aku beranikan diriku
“Di IPB, akhirnya aku akan menikmati indahnya kota
bogor setiap hari. Kamu An?” jawabnya dengan perasaan begitu bahagia
“a-aku? Di UGM.” Jawabku, dan entah kenapa aku ingin
sekali menangis tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis di depan
Dimas.
“oh, kamu mau
di Jogja ya?”
“Iya. Dimas, seberapa jauh jarak Jogja ke Bogor? “
Entah kenapa tiba-tiba pertanyaan itu muncul di benakku.
“Tidak terlalu jauh kok, kenapa Anye?” jawabnya dengan
seulas senyum yang mungkin tidak akan dapat ku lihat lagi.
“Tidak apa-apa. Dimas, aku pengin lihat suatu
saat nanti kamu tersenyum dengan
impianmu. Terima kasih karena telah menjadi bagian sma ini, terima kasih untuk
segalanya.” Ucapku sambil berjalan mencoba menjauh darinya karena isak
tanggisku tidak dapat ku tahan.
“Iya, terima kasih juga untuk semuanya. Aku berharap
ketika aku ada di toko buku ada nama kamu disana sebagai seorang penulis dan
buatlah ayah kamu kembali ke pelukan kamu Dian Anyelir.”
“aku berjanji untuk semua itu Dimas Alkalil.”
Terima kasih Dimas Alkalil, aku bersyukur
mencintaimu jika pada akhirnya rasa cinta justru membuatku ingin terlihat
pantas dan sejajar denganmu, kau menggubahku dari gadis pemimpi,
pemurung, cengeng yang selalu merasa salah tempat dan putus asa ini menjadi
gadis yang begitu berharga.
-END-
Jangan di jiplak, di copas, atau apapun
itu namanya ya.. capek nih kalau cerpennya
di copas terus. Ayo gunain kreativitas masing-masing ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar