Sekali dua kali awan benar-benar membentuk awan, gumpalan permen kapas manis yang dijilat jilat malaikat, bukan wajahmu. Namun, aku yakin sesuatu itu benar benar pernah menyerupai bentuk hidung, jidat atau dagu yang mirip kamu. Hanya saja aku tidak sedang mendongak ke atas melihat lihat. Tentang apa yang dilukiskan pada langit, pun burung tidak mampu membaca. Lagipula sejak kapan burung bisa membaca. Aku sudah tidak paham dengan para penulis puisi ketika mereka menulismu sedang duduk di atas awan. Aku sangat khawatir. Kamu tentu perlu parasut biar tidak jatuh.
Sekali dua kali bulan sabit benar benar hanya melengkungkan bentuk bumi. Tahu kan, bulan sabit terbentuk karena posisi bumi yang menghalagi sebagian cahaya matahari ke bulan. Iya, dan bukan senyummu. Namun, yah, aku rasa senyummu kadang memang secantik itu. Aku pernah memandangnya lama dan bulan tersenyum balik padaku, hingga awan cemburu dan menyelimuti seluruh pendarnya. Kalau pelukis menambah bola mata cantik di atas senyum bulan, kadangkala akupun mengangguk angguk setuju.
Ketika banyak yang memetaforakan alam, mensubsitusikan dengan kehadiranmu, disitulah rasanya benar bahwa rindu sesakit itu. Sakit yang hanya didiagnosa dokter sebagai kurang makan dan tidur, atau terlalu banyak makan dan tidur. Residu atas reaksi pertemuan dua senyawa yang memiliki chemistry nya sendiri. Akibat dari hati turun ke hati, mengendap lama sebelum pergi mencuri hati lagi. Ketika rindu yang seperti itu akhirnya mendatangi, aku mungkin setuju pada semua penyair ini. Tapi tetap, aku masih perlu parasut. Sekedar jaga-jaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar