Ada secercah kedamaian yang tak dapat aku uraikan
ketika aku menatap mereka. Mereka memakai mahkota bagaikan seorang ratu yang
akan menahtai kerajaan surga. Mereka berjalan dengan anggun dan tidak
menampakan diri dengan berlebihan. Kepala mereka tertunduk menatap tanah Allah,
menghindari tatapan fitnah yang rawan menerkam mereka. Allah mendekap mereka.
Aku iri. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka?
Gadis itu mengeluarkan tiga lembar uang seribuan dari saku celananya.
Senyum tipisnya tersungging. Inilah hasil kerja keras yang dia lalui seharian
dengan keringatnya sendiri. Kemudian, dia merebahkan dirinya di atas lembaran
kertas koran lusuh yang terhampar. Matanya mengagumi keindahan cahaya bulan
purnama yang sedang menampakan dirinya di antara ribuan bintang yang pudar
karena cahaya lampu dan polusi. Dengan ikhlas, dihirupnya udara malam yang
telah tercemar bau sampah.
Aku
masih diberi hidup. Aku mensyukurinya.
Matanya tertutup perlahan. Ruhnya terbawa ke alam mimpi yang lebih
indah.
***
“Kima, bangun!”
Sapaan itu mengawali hari baru Kima, gadis yang tertidur di atas
lembaran koran. Dengan enggan, dia membuka matanya. Di hadapannya kini ada
seorang laki-laki dengan senyum lebar. Onji, keluarga satu-satunya yang
dimiliki oleh Kima.
“Kau
pasti kelelahan.”
Onji
membelai rambut adiknya yang berdebu. Kima belum bereaksi banyak. Dia masih
beradaptasi dengan kehidupan nyata.
“Hari ini, kamu istirahat saja di rumah. Kakak yang
akan bekerja.”
Ajakan Onji membuat Kima menjadi terbangun sepenuhnya. Dengan cepat, dia
menggelengkan kepalanya. Dia langsung berdiri dan berkata, “Kima tidak apa-apa.
Kima akan ikut dengan kakak.”
Kali
ini, Onji yang menggelengkan kepalanya. “Kau masih tetap dengan keinginanmu?”
“Iya, kak! Aku akan terus berusaha untuk mendapatkannya! Lagipula, uang
yang aku kumpulkan sudah banyak. Beberapa hari lagi aku bisa membelinya.” jawab
Kima bersemangat.
Onji
tidak bisa melawan lagi apabila Kima sudah teguh dengan pendiriannya. Dengan
pelan, dia berkata, “Baiklah kalau itu maumu.”
Kakak beradik itu kemudian berjalan berbarengan. Di usia yang seharusnya
mereka pakai untuk menuntut ilmu di sekolah, mereka malah menggunakannya untuk
memanggang diri mereka di bawah sinar mentari yang tak pandang usia. Mengais
rezeki layaknya orang dewasa. Membanting tulang demi mencukupi kebutuhan. Di
tempat orang-orang mengubur masa lalu mereka. Di mana sampah berserakan, di
sana kalian dapat menemukan keharmonisan mereka.
***
Itu
adalah rumah, meskipun itu tidak layak disebut rumah. Rumah itu terbentuk dari
susunan beberapa kardus bekas yang digepengkan. Luas rumah itu hanya sekitar
4x5 meter. Lantai rumah itu berupa tanah yang dilapisi oleh kertas koran. Atap
rumah itu pun tidak tertutupi dengan sempurna. Namun, di sanalah Kima dan Onji
tinggal.
Kima
berlari ke rumahnya dengan langkah cepat dan wajah yang sumringah. Dia langsung
mengambil sebuah plastik hitam yang berisi berlembar-lembar uang kertas serta
beberapa koin ratusan. Dia memasukan uang hasil pekerjaannya hari ini dan
kemarin ke dalam plastik itu. Tampaknya, uang-uang itu akan membentuk sebuah
satuan yang besar.
Penasaran dengan jumlah uang yang sudah dia kumpulkan, Kima pun
membongkar isi plastik itu dan menghitung uang itu dengan hati-hati.
Onji
baru datang ke rumah dan membawakan sebungkus plastik yang berisi dua buah nasi
bungkus. Ketika dia melihat Kima sibuk dengan pekerjaannya, dia tersenyum.
Kemudian, dia mendekati Kima.
“Bagaimana?
Uangnya sudah cukup, kan?”
Kima
telah sampai pada perhitungan terakhir. Dengan girang, dia berkata, “Enam puluh
lima ribu tujuh ratus! Cukup, kak!”
Perasaan yang berbunga-bunga itu turut dirasakan oleh Onji. Dari
matanya, tersirat sebuah kebanggaan akan gigihnya perjuangan sang adik untuk
mendapatkan hal yang dia idamkan sejak lama. Selembar jilbab yang akan
memanjakan rambutnya.
***
Pohon beringin di pinggir jalan adalah saksi mimpi itu terucap.
Kima
dan Onji melepas lelah di bawahnya. Mereka menyandarkan punggung mereka pada
batang pohon itu sembari menyaksikan kaki-kaki manusia dan roda kendaraan yang
berlalu lalang tanpa peduli.
Sepasang kaki mendekati mereka. Sebuah roti berukuran besar dijulurkan
oleh tangan itu. Mereka menengadahkan kepalanya dan mendapati seorang wanita
dengan hijab lebar berwarna hijau muda tersenyum pada mereka. Mereka menyambut
roti itu tanpa berkata-kata, begitu pula dengan wanita itu. Setelah roti
bersambut, wanita itu langsung berlalu.
Kima
dan Onji terdiam beberapa saat.
“Ini
rezeki, Kim!” seru Onji kemudian. Memecah keheningan di antara mereka.
Kima
masih tidak bereaksi. Tampak ada hal yang tengah mengusik pikirannya.
“Kima?” Onji mengguncang tubuh Kima.
“Eh,
kakak. Kayaknya Kima akan lebih bagus kalau pakai kain itu, deh.”
Dahi
Onji berkerut.
“Itu, loh! Kain yang dipakai oleh wanita itu! Jilbab! Kima merasa aman
kalau melihat jilbab itu terpasang dengan rapi. Kepala Kima akan terlindungi
dari sinar matahari dan debu. Kima pasti akan lebih nyaman kalau memakai itu.”
Onji
tertawa kecil. “Dengan uang yang kita hasilkan, kita hanya mampu membeli makan.
Bagaimana kita akan membeli jilbab itu?”
“Aku
akan mengumpulkan uang untuk membelinya!”
Tekad Kima telah dicatat oleh malaikat Rakib.
***
Wanita yang menjaga toko busana muslim itu, ketika melihat Kima dan Onji
mendekat ke tokonya, langsung berkata, “Maaf, de. Di sini bukan tempat untuk
meminta-minta!”
Menanggapi perkataan bernada mengusir dari wanita itu, Kima tersenyum.
“Kami bukan mau mengemis, Mbak. Kami mau membeli jilbab.”
Mulut wanita itu ternganga.
“Iya, Mbak. Adik saya mau membeli jilbab. Mbak bisa bantu adik saya
nyariin jilbab yang cocok buat dia?” Onji menambahkan.
Melihat kesungguhan di mata kedua anak itu, wanita itu akhirnya bersedia
melayani mereka. Di antara beberapa jilbab yang ditawarkan, Kima memilih sebuah
jilbab berwarna hijau muda, seperti jilbab yang dipakai oleh wanita yang
memberi mereka roti.
Setelah
keluar dari toko itu, Kima langsung memakainya. Onji memperhatikan adiknya dan
tersenyum. “Nanti kakak akan membelikanmu baju yang cocok untuk jilbab itu.”
“Nggak usah terlalu terburu-buru juga, kak. Yang penting, Kima sudah
pakai jilbab.”
***
Jilbab hijau muda Kima telah lusuh ditelan hari. Di beberapa bagian
jilbab itu terdapat bolongan-bolongan kecil. Jilbab itu pun mulai longgar untuk
dipakai olehnya karena kain yang sudah merenggang. Namun, simbol identitas
muslimah itu tetap setia terpasang di kepalanya.
Ternyata, takdir tidak memperbolehkan mereka untuk bersama dalam kurun
waktu yang lebih lama.
Saat
itu, Kima dan Onji bekerja seperti biasa. Lokasi yang mereka datangi adalah
sebuah tempat pembuangan sampah yang sering dikunjungi oleh pemulung-pemulung
lainnya.
Ekspresi yang tidak wajar kemudian tergambar dari wajah Onji. Dia
seperti menahan sesuatu yang menyakitkan. Menyadari keanehan kakaknya, Kima
meninggalkan pekerjaannya dan mendekati Onji.
“Kakak kenapa?” tanya Kima khawatir.
Onji
berjalan dengan pincang menuju ke tempat yang tidak dipenuhi sampah, diikuti
oleh Kima. Kemudian, Onji menunjuk kakinya. Betapa terkejutnya Kima melihat
kaki Onji yang berdarah akibat pecahan beling minuman kaleng. Darah itu
memenuhi telapak kaki sang kakak.
Pandangan Kima langsung diedarkan ke penjuru TPS. Dia langsung
berinisiatif untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan perban. Namun, sebagian
besar TPS dipenuhi oleh sampah plastik. Bingung. Kima menggaruk-garuk
kepalanya.
Jilbab ini …
Jilbab ini telah dia dapatkan dari hasil kerja kerasnya. Namun, kondisi
kakaknya yang sakit itu …
Kima
yang terlanjur panik tidak ingin buang-buang waktu lagi. Dia langsung mencopot
jilbabnya. Beling yang menancap di kaki kakaknya dia singkirkan terlebih
dahulu. Kemudian, dia memberi perban untuk menutupi luka itu dengan jilbabnya.
Onji takjub.
“Kima …” panggilnya.
Kima
tahu apa yang ingin dikatakan oleh Onji. Dia langsung berucap, “Yang penting
kondisi kakak dulu.”
Onji
pun tertunduk. Mereka belum mendapat penghasilan untuk hari ini. Mustahil bagi
mereka untuk membeli obat maupun perban. Kini, jilbab satu-satunya Kima dipenuhi
oleh darah kakinya.
“Maafkan kakak, Kim …” ucap Onji lirih.
Kima
memeluk kakaknya dengan tulus. “Nanti Kima nabung lagi buat beli jilbab.”
Buliran bening menghiasi kedua wajah itu.
***
Aku
tetap begini. Berjuang menghadapi hidup yang keras bersama Kak Onji. Tetapi,
cita-citaku tetap sama: memiliki jilbab dan memakainya. Kini, aku menabung lagi
untuk membeli jilbabku yang kedua. Aku yakin ini akan terealisasikan, meskipun
penampilanku tidak bisa seanggun muslimah lainnya.
2 komentar:
aku pengunjung pertama loh mb :)
Aku lebih suka yang ini mba :)
Posting Komentar