Selasa, 13 Januari 2015

Kabut Tak Tergenggam



Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan
dan alasan
Engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan
dalam samudera terkelam
Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang
menuju tempat tak bernama namun terasa ada

 
Ajarkan aku,
Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
Bangun dari ilusi namun tak memilih pergi
Tunggu aku,
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu.
(Fajar yang terlalu dini)

  

               
         Kini ia percaya. Hati dapat berdenting membentuk harmoni mayor sempurna yang manis di kuping, tanpa perlu buka suara atau memetik gitar. Dawai terakhirnya, yang berbunyi tipis tinggi tetapi menggenapi, telah terpetik.
     Warna-warna. Kita memang tak pernah tahu apa yang dirindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tak pernah menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat dalam ruang waktu. Dan ia percaya kini.
   Puluhan orang—perempuan-perempuan dalam cholater baik mereka dengan warna semencolok mungkin—menari cueca dijalan, sementara beberapa drum band dengan alat musik charango, quena, dan seperangkat alat tabuh, memainkan lagulaguberbeda pada saat yang bersamaan.
    Chicha—minuman alkohol rakyat—dibagikan cuma-cuma. Lebih dua gelas, semua hiruk-pikuk tadi jadi semerdu simfoni Debussy.
  Gio keluar dari Amazon dan tiba di Vallegrande pada saat yang tepat. Setelah 35 hari matanya eksklusif memandang hijau tanaman, putih buih sungai, dan biru langit yang terbentang tanpa pucuk bangunan, baru ia injakkan lagi kaki ke peradaban dan melihat warna-warna celupan manusia. Satu kota ini tengah merayakan Fiesta de La Cruz demi mengenang salib Kristus di
  Golgota. Dan—lepas dari tema sucinya—orang-orang Bolivia ini benar-benar tahu cara berpesta. Gio pun tersenyum. Entah pada siapa. Hawa Amerika Selatan merupakan kendali jarak jauh   yang membangkitkan jejak sejumlah arwah dalam dirinya. Pada kehidupan sekarang, ia berkewarganegaraan Indonesia dengan darah campur aduk, ibu Tionghoa dan ayah Indo-Portugal.

         
    Namun, sama seperti anak kecil yang beriman Sinterklas ada, Gio menyimpan secuiliman bahwa pada kehidupan lalu dirinya adalah seorang Inca. Tak peduli dunia bilang apa.
  Sejak dua hari lalu, Gio mendaratkan kakinya di Vallegrande. Perjalanan yang melelahkan dengan folta dari Santa Cruz. Kalau saja tidak kepalang janji mengunjungi seseorang di kota ini, barangkali ia tak akan pernah melepaskan diri dari magnet Mangkok Amazon. Barulah saat berhadapan langsung dengan Chaska, Gio tersadar akan perasaan rindu yang telah lama bertengger di tebing hati. Tinggal menunggu jatuh.
   Chaska Pumachua adalah wanita Quechua asal Huaraz, Peru, yang tinggal di kota kecil Vallegrande.
  Gio bertemu dengannya sejak pertama mengunjungi Bolivia. Delapan tahun yang lalu. Adalah Paulo, sahabatnya, yang mengajak Gio untuk mampir ke Vallegrande demi menemui Chaska setelah mereka keluar dari Taman Nasional Amboro.
  Paulo—yang berdomisili di Peru—sudah lima bulan tidak mengunjungi ibunya dan diancam tidak dianggap anak lagi, plus berhenti dimasakkan empanadas saltenas, pie isi daging Llama. Gara-gara lebih ngeri akan ancaman yang kedua—menurut Paulo, pie buatan ibunya itulah juara dunia—ia memohon-mohon pada Gio agar ikut berangkat ke Vallegrande dari Samaipata, dengan asumsi ibunya bakalan lebih lunak di hadapan tamu.



       Seharusnya Paulo menyesal telah mengajaknya waktu itu. Cuma tiga hari di Vallegrande, Gio sudah merebut total hati Chaska. Paulo memang tetap dianggap anak, tapi anak tiri.
     Di sisi lain, Gio juga kecipratan sial, karena ancaman-ancaman yang dulu jadi jatah Paulo kini menjadi jatahnya. Dan ia juga sudah kecanduan empanadas saltenas buatan Chaska.
    Di terminal, Chaska menjemput dengan truk biru uzurnya, yang menggilasi jalan penuh percaya diri. "Qhari wawa!! Anakku!!" teriaknya sambil mendekap kuat-kuat hingga Gio terbatuk kecil.
  Tinggi Chaska cuma sedagunya, dengan badan satu setengah kali lebih lebar. Kekuatan pelukan itu tak bisa diremehkan.
"Como estas, mi hijo? Kamu sehat-sehat?"
"Lebih sehat begitu sampai di sini, Mamd," jawab Gio sambil menghabiskan sisa batuknya.
"Kapan kamu menikah? Mama-mu ini sudah kepingin jadi nenek." Gio terbahak lepas.
  Tidak di Indonesia, tidak di Bolivia, ia selalu dikejar-kejar pertanyaan sama, hingga lama-lama terdengar seperti lelucon di kupingnya. Hanya saja, orang tuanya sudah menyerah bertahun-tahun yang lalu. Lain dengan Chaska yang terlalu keras kepala untuk jadi jera. Setiap kali mereka bertemu, itu selalu menjadi pertanyaan kedua Chaska setelah 'apa kabar'.



"Pacar saya ogah diajak menikah cepat-cepat, Mamd. Dia perempuan modern," tangkisnya santai.
“Ah! Tinggalkan saja kalau begitu! Banyak senorita cantik di sini!"
dumel Chaska sambil menyalakan mesin mobil. Roknya yang bertumpuk—membuat ukuran badannya seakan dua kali lebih besar—semakin merepotkannya untuk masuk ke belakang kemudi.
"Kamu terlalu banyak melamun di pinggir sungai Chawpi Tuta," lanjutnya. "Kamu jadi terlalu romantis, gampang dibohongi perempuan."
   Dalam volume rendah yang diperuntukkan bagi telinganya sendiri, Gio terkekeh. Paulo yang pertama kali memberinya julukan itu: Chawpi Tuta. Midnight Mist. Karena, tak ada yang dapat menariknya pergi bila sudah duduk diam memandangi kabut malam menciumi wajah sungai. Barangkali, kecintaan itulah yang dilihat seorang pemandu tua di tepian Sungai Yuat, Papua Nugini, dua belas tahun lalu, saat Gio menghadiahi dirinya sendiri arung jeram kelas 5 pertama di luar Indonesia.
  Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-18, laki-laki itu mendatanginya dan berkata: Hidupmu ada di urat Bumi. Selalu kembali ke buih.
  Detik berikut, sorot mata Gio membentur peta yang ia genggam dan seketika pula dirinya mengerti. Sejak itu, tak pernah berhenti ia mengendarai buih, menyusuri urat-urat Bumi. Lewat kayuhan dayung, atau terawangan mata belaka, tak ada bedanya. Sungai menjadi jalan pulangnya ke rumah tak bcrwadak. tapi ia selalu tahu di mana harus mengetuk pintu.


   Perjalanannya ke Bolivia kali ini merupakan kala keenam Gio mengunjungi Rio Tuichi, tepat dalam jantung Taman Nasional Madidi yang melingkup dari Andes sampai Amazon.
  Setelah bertolak dari Desa San Jose de Uchupiamonas nan senyap, ia pun masih memilih tinggal dulu di Rurrenabaque, demi menatapi gulungan kabut pekat yang mencium wajah sungai pada malam hari. Lenyap dalam serat udara yang tersisir larik-larik sinar bulan.
   Ia bisa duduk di tepi sungai berjam-jam lamanya. Tersenyum. Entah pada siapa. Pada satu malam dingin tanpa angin di Vallegrande, Chaska pernah berbisik padanya, sungai yang diarungi membuat seseorang bertambah kuat, tapi sungai yang dipandangi cumaakan melemahkan hati.
   Dan Gio melakukan kedua-duanya lama sering. Saat itu, Chaska sedang menganalisa sebab musabab kisah cinta Gio yang dianggapnya membingungkan. Dengan sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun Gio mencintai satu orang yang sama. Diarunginya perasaan itu tanpa lelah seperti menaklukkan jeram-jeram.
  Namun orang yang dicintainya hadir serupa kabut. Hubungan yang tak pernah beranjak ke mana-mana. Ada dan tiada seperti kabut malam yang tak tergenggam. Dan entah kenapa, Gio selalu memilih untuk tetap memandangi. Merapuh dengan sukarela. Chaska tak pernah mengerti itu.


"Chicha, senor?" Gio tersentak.
  Seorang pria dengan montera—sejenis topi kain—merah menyala tahu-tahu menyorongkannya chicha. Setengah wajahnya tertutup bayangan topinya sendiri. Sekilas hanya tampak segaris tipis bibir kecokelatan dan deretan gigi depan yang putih. "Gracias," Gio menyambut dan langsung menenggak. Pria itu tersenyum puas melihat suguhannya disambut baik.
"Hatimu memang sedang berduka, senor. Tapi kita tetap harus menikmati hidup! Ha-ha-ha!" ia tertawa.
Gio ikut tertawa. "Ha-ha-ha . . . pero esfoy bien. Saya baik-baik saja, kok," timpalnya sedikit bingung.
"Vale, vale," pria itu mengangguk-angguk, seolah memaklumi Gio yang sudah kedapatan berbohong.
"Kehilangan seseorang yang kita cinta memang tidak pernah gampang," lanjutnya lagi.
 Gio berhenti minum. "Perdon? Mo dice? Lo siento, senor, tapi saya tidak mengerti —"
'Tidak perlu mengerti," laki-laki itu menyela lebih gesit,
"kamu hanya perlu tahu." Dengan gerakan cepat, ia menenggak tandas chica di tangannya. Kepalanya menoleh ke belakang seolah memastikan sesuatu dan terburu-buru ia berkata,
"Akan ada yang membantumu. Orang-orang yang tidak kamu kenal. Mereka sejenis dengan yang hilang. Mereka berempat. Satu akan berangkat dan mungkin tidak kembali. Tapi, kamu tidak perlu mengerti . . . ." Ke tangan Gio tiba-tiba dijejalkan sesuatu.
" . . . kamu hanya perlu tahu," ulangnya lagi. Dan kalimatnya terhenti begitu terdengar seseorang berteriak memanggil nama Gio. Gio refleks memutar punggung. Dari kejauhan dilihatnya Chaska sedang menyeruak kerumunan orang di pinggir jalan.
"Gio! GIO!" perempuan itu memanggil-manggil panik. Keras suaranya menembus kegaduhan musik.
 Bergegas Gio menghampiri, tapi sejenak berbalik untuk menahan pria tadi. Napasnyalah yang jadi tertahan.
 Pria itu lenyap! Gio mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Montera merah menyala itu tak terlihat di mana-mana, menguap hilang bagai embun pagi yang dilalap matahari. Dunia pun berbalik dalam hitungan detik. Degup jantungnya mengencang. Perasaannya berubah tak enak.
 Gio menyongsong Chaska yang ngos-ngosan, "Mamd! Ada apa?"
"Paulo . . . dia tadi telepon, es urgente. Sangat-sangat penting, katanya. Lebih baik kamu pulang sekarang, sepuluh menit lagi dia mau telepon balik. Cepat. Bawa mobilku. Nanti saya menyusul."
"Si,"
 Gio sigap berlari. Diketap-ketipkan matanya sekuat tenaga, mengusir bayangan montera merah menyala yang tak kunjung tanggal.
 Di depan pesawat telepon, ia terduduk resah. Perjalanan dari pusat kota ke rumah Chaska ditempuhnya hanya dalam waktu lima menit, dan sisa lima menit menuju dering teleponnya Paulo benar-benar menyiksa. Kakinya bergoyang-goyang tanpa henti sejak tadi.

    
    Di telapak tangannya yang terbuka, berbaris empat batu licin dengan bentuk bundar pipih sebesar tapak ibu jari, warnanya abu kehitaman. Pria ber-montera tadi menyerahkannya dalam bungkusan kain belacu. Di tiap batu terdapat ukiran kasar yang berbeda-beda. Seperti dibuat terburu-buru. Gio tak bisa memahami satupun artinya: ukiran di empat batu, maupun hari aneh ini. Dering telepon berkumandang. Membekukan segalanya.
   Gio tercenung. Aneh. Tadi ia tidak sabar menunggu telepon berbunyi, tapi kini malah ragu mengangkat. Perasaan cemas menyisip. Perasaan tidak siap. Lima kali telepon itu dibiarkan berdering sampai tangannya tergerak mengangkat gagangnya,
"/l/d . . . ," sapanya ragu.
"Alo! Gio?" Suara Paulo di ujung sana.
"Paulo! Como estds, mi amigos?" Gio menyapa hangat.
Berusaha menyamarkan gentar yang mengintai dalam suaranya.
"Bien, gracias," balas Paulo. Nada bicaranya seketika menurun. "Gio, saya sudah berusaha menghubungi kamu sejak seminggu yang lalu."
"Saya sedang di Madidi. Hantu pun tidak bisa menghubungiku di sana," Gio tertawa kecil. Hambar.
"Lo se. Baru tadi pagi saya terpikir untuk mengontak mi Mama, dan benar saja, kamu mampir ke Vallegrande . . . ," terdengar embusan napas lega.
"Ibumu bilang ada yang sangat penting." Lama tak terdengar jawaban. Paulo hanya menelan ludah berkali-kali, mengusap-usap muka galaunya.
"Paulo, . . . estds bien?"

“saya baik-baik saja. Tapi, ini bukan tentang saya.
“Tu amiga . . . ." Paulo berhenti sejenak, berat sekali mengatakannya.
"Tu amiga, senorita Anastasia . . . ."
"Diva?" Gio memotong cepat. Berharap ada seseorang bernama belakang Anastasia lain yang ia kenal. Dan bukan Diva.
"Si."
"Kenapa dengan Diva?"
"Kami terakhir bertemu sebulanan yang lalu di Cuzco, setelah dia pulang dari Machu Picchu. Diva cerita, dia akan ikut satu tim ekspedisi Israel yang mau menyusuri Rio Tambopata sampai Candamo. Kesempatan langka, memang. Baru untuk kedua kalinya ada tim ekspedisi turun ke Tambopata. Diva merasa beruntung. Katanya, itu tempat yang tepat kalau ingin menghilang dari muka Bumi. Saya pikir dia main-main . . . atau memang betul itu cuma bercanda, no se, tapi . . . ." Hening lagi.
   Paulo seperti mengumpulkan kekuatan di seberang sana. Dan Gio tak tergerak untuk mendesak, sabar menunggu tanpa mengeluarkan sepotong pun kata. Tak juga gumaman-gumaman pendek tanda mendengarkan. Hanya harapan cerita itu tak perlu berlanjut.
"Satu hari, Diva bersikeras ingin pergi jungle walking sendirian. Mereka sudah memperingatkannya, Gio. Tapi Diva tetap pergi juga, katanya cuma mau menyisir bagian luar . . . ."
Suara Paulo kian menurun, "Mereka—menghubungiku seminggu yang lalu. Perusahaan sponsor tim ekspedisi itu. Mereka kembali ke Cuzco tanpa Diva. Dia—hilang."


 Sekejap pandangan Gio menghampa. Pikirannya menembus ruang waktu. Menuju hamparan permukaan sungai hening dan gumpalan kabut yang tak tergenggam.
  Di sela-sela rajutan molekul udara, melayanglah sebuah benda berwarna merah menyala. Mendekat . . . semakin dekat . . . begitu dekat, hingga matanya seakan dipulas darah merah.
Paulo terus berbicara, "Gio, dengar, mereka sudah berusaha. Bertahan di sana sampai dua puluh hari, lewat seminggu dari jadwal. Karena benar-benar sudah tidak ada suplai makanan, mereka terpaksa kembali ke Cuzco. Tidak ada pilihan. Kamu tahu persis keadaan di sana seperti apa."
Dan dalam keprihatinan bercampur rasa takjub yang tak mampu disembunyikan, Paulo melanjutkan,
"Diva . . . , dia lenyap begitu saja. Seperti—"
"—seperti kabut," desis Gio.
Paulo terdiam. "Lamento mucho oir eso." Akhirnya, hanya sesal yang sanggup terucap.
"Tunggu saya di Cuzco. Saya berangkat hari ini juga." Gio menutup telepon. Duduk dan diam. Namun Bumi di bawah kakinya seolah memekar tanpa tepi, mengacaukan semua peta, semua yang ia tahu, dan dirinya menjadi sangat kecil. Tak berdaya.
 Dibukanya lagi telapak tangan yang menggenggam empat batu kehitaman. Empat tanda tanya tanpa jawaban. Minha sol . . . Gio memanggil pelan. Pada kegelapan.

  Dengan hati-hati, tiket pesawat ke Cuzco diselipkannya ke kantong ransel. Gio berhenti sesaat. Ekor matanya menangkap Chaska yang tengah membuang pandangan jauh ke jendela. Wajah itu muram.
"Mama, saya akan baik-baik saja," ucap Gio pelan.
Chaska tersenyum tawar. "Kamu tidak perlu bicara begitu. Semua orang yang mau pergi selalu ngomong hal sama, mereka akan baik-baik saja, padahal tidak ada yang tahu. Senorita Anastasia juga pasti bilang begitu padamu dulu."
"Anggap saja saya pergi berenang ke sungai sebelah. Mamd tinggal nangkring di teras depan sambil pegang sapu buat gebuk pantat," celoteh Gio dengan nada Jenaka.
"Saya, juga Paulo, bakalan pulang dan mengobrak-abrik rumah ini."
 Chaska tak bereaksi. Hanya menatap Gio lama. Asing. "Aku harus mengatakan sesuatu . . . ," bisiknya. Gio sungguh hafal gaya berbisik itu. Cara Chaska setiap kali hendak mengatakan sesuatu yang menoreh batin.
"Dua belas tahun yang lalu, aku pernah diberi mimpi-mimpi aneh. Selalu sama setiap malam. Dan seminggu sebelum kamu sampai di sini, mimpi itu datang lagi . . . ," Chaska bertutur.
 Pelan, mengeja, dan semua kata terdengar jelas walau lirih. Gio tertegun. Meletakkan lagi ransel yang sudah menempel di bahu.
"Kegelapan, Chawpi Tuta . . .," suara Chaska bergetar.
 Kalimatnya menggantung di sana. Perempuan itu mengerjapngerjapkan mata, mengusap rambutnya yang terkepang panjang dengan gugup, lalu kembali membuang pandangan ke jendela.


 "Kegelapan, maksudnya?" Chaska menoleh. Gerakan yang terlampau mendadak.
Sesuatu menumpangi bola mata cokelat itu. Sesuatu yang tak pernah Gio lihat sebelumnya.
"Kegelapan itu hidup. Dia punya wajah . . . aku tak bisa menggambarkan seperti apa, mi hijo. Tapi dia bisa menyedotmu pergi, dan kamu tidak akan pernah kembali lagi," Chaska berkata tersendat.
"Saya masih belum mengerti—"
"Suamiku, Juancho, meninggal dua belas tahun yang lalu. Kamu tahu itu, kan?" potong Chaska. "Dua belas tahun, Chawpi Tuta, aku tidak pernah memimpikan kegelapan. Baru sekarang aku mengalaminya lagi."
 Gio membuang napas panjang. Berusaha mengenyahkan rasa ngeri yang mendesir masuk ke aliran darahnya. "Tapi, saya tetap harus pergi, Mamd. Saya tidak punya pilihan lain," ia bergumam.
"Lo se, lo se," Chaska memanggut, kembali memunggungi Gio, dan memandang entah apa di luar sana.
 Namun ia seperti lelah. Perlahan, ransel yang bersandar di kaki dipungutnya dan disandangkan ke bahu. Gio mengelap mukanya seakan ingin menghapus sesuatu yang tak ia suka. Gio tidak suka hari ini. Bisakah ia kembali ke hari kemarin, saat Bumi masih bertepi dan dirinya masih lengkap oleh orang-orang yang ia sayangi?
"Aku sering berpikir, kegelapan adalah kematian. Dan itu membuatku takut," Chaska kembali berbisik.
"Tapi aku juga berharap, kegelapan dalam mimpiku adalah tempat menyenangkan, yang bisa memberi kita damai. Jadi, biarpun Juancho tidak kembali, aku tahu ia berada di tempat yang lebih baik."
"Saya akan kembali," tegas Gio.
  Serta meria, Chaska membalikkan badan.
"Aku tidak yakin, mi hijo, aku bermimpi untuk diriku sendiri atau—untukmu. Jadi, kalau kekasihmu tidak pulang, barangkali pikiran tadi bisa membantu." Pelan, perempuan itu maju menghampiri Gio. Bisikannya terdengar seperti sepoi angin,
"Karena aku juga tidak yakin, kamu bisa menjemputnya keluar dari kegelapan." Gio terkesiap. Suara Chaska berbayang. Seakan mengalir dari dua muara. Bahkan ia jadi enggan mendongak, takut berjumpa sesuatu tak dikenal di mata perempuan yang sudah ia anggap ibu sendiri. Mengapa segalanya menjadi begitu asing?
 Tangan Chaska pun tertumpang, menggenggam tangannya. Terasa hangat. Kembali akrab. "Manakuiki kanmanta. Doaku bersamamu."
“Sumaq risuchun . . . ," akhirnya Gio mendongak,
"selamat tinggal."
                    
                                                    -Selesai -


  

Tidak ada komentar: