Engkaulah
gulita yang memupuskan segala batasan
dan
alasan
Engkaulah
penunjuk jalan menuju palung kekosongan
dalam
samudera terkelam
Engkaulah
sayap tanpa tepi yang membentang
menuju
tempat tak bernama namun terasa ada
Ajarkan
aku,
Melebur
dalam gelap tanpa harus lenyap
Merengkuh
rasa takut tanpa perlu surut
Bangun
dari ilusi namun tak memilih pergi
Tunggu
aku,
Yang
hanya selangkah dari bibir jurangmu.
(Fajar yang
terlalu dini)
Kini
ia percaya. Hati dapat berdenting membentuk harmoni mayor sempurna yang manis
di kuping, tanpa perlu buka suara atau memetik gitar. Dawai terakhirnya, yang
berbunyi tipis tinggi tetapi menggenapi, telah terpetik.
Warna-warna. Kita memang tak pernah tahu apa
yang dirindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata. Kita tak pernah
menyadari ketidaklengkapan hingga bersua dengan kepingan diri yang tersesat
dalam ruang waktu. Dan ia percaya kini.
Puluhan
orang—perempuan-perempuan dalam cholater baik mereka dengan warna semencolok
mungkin—menari cueca dijalan, sementara beberapa drum band dengan alat musik charango,
quena, dan seperangkat alat tabuh, memainkan lagulaguberbeda pada saat yang
bersamaan.
Chicha—minuman
alkohol rakyat—dibagikan cuma-cuma. Lebih dua gelas, semua hiruk-pikuk tadi
jadi semerdu simfoni Debussy.
Gio keluar
dari Amazon dan tiba di Vallegrande pada saat yang tepat. Setelah 35 hari
matanya eksklusif memandang hijau tanaman, putih buih sungai, dan biru langit
yang terbentang tanpa pucuk bangunan, baru ia injakkan lagi kaki ke peradaban
dan melihat warna-warna celupan manusia. Satu kota ini tengah merayakan Fiesta
de La Cruz demi mengenang salib Kristus di
Golgota.
Dan—lepas dari tema sucinya—orang-orang Bolivia ini benar-benar tahu cara
berpesta. Gio pun tersenyum. Entah pada siapa. Hawa Amerika Selatan merupakan
kendali jarak jauh yang membangkitkan jejak
sejumlah arwah dalam dirinya. Pada kehidupan sekarang, ia berkewarganegaraan
Indonesia dengan darah campur aduk, ibu Tionghoa dan ayah Indo-Portugal.
Namun, sama
seperti anak kecil yang beriman Sinterklas ada, Gio menyimpan secuiliman bahwa
pada kehidupan lalu dirinya adalah seorang Inca. Tak peduli dunia bilang apa.
Sejak dua hari
lalu, Gio mendaratkan kakinya di Vallegrande. Perjalanan yang melelahkan dengan
folta dari Santa Cruz. Kalau saja tidak kepalang janji mengunjungi seseorang di
kota ini, barangkali ia tak akan pernah melepaskan diri dari magnet Mangkok
Amazon. Barulah saat berhadapan langsung dengan Chaska, Gio tersadar akan
perasaan rindu yang telah lama bertengger di tebing hati. Tinggal menunggu
jatuh.
Chaska
Pumachua adalah wanita Quechua asal Huaraz, Peru, yang tinggal di kota kecil
Vallegrande.
Gio bertemu dengannya
sejak pertama mengunjungi Bolivia. Delapan tahun yang lalu. Adalah Paulo,
sahabatnya, yang mengajak Gio untuk mampir ke Vallegrande demi menemui Chaska
setelah mereka keluar dari Taman Nasional Amboro.
Paulo—yang
berdomisili di Peru—sudah lima bulan tidak mengunjungi ibunya dan diancam tidak
dianggap anak lagi, plus berhenti dimasakkan empanadas saltenas, pie isi daging
Llama. Gara-gara lebih ngeri akan ancaman yang kedua—menurut Paulo, pie buatan ibunya
itulah juara dunia—ia memohon-mohon pada Gio agar ikut berangkat ke Vallegrande
dari Samaipata, dengan asumsi ibunya bakalan lebih lunak di hadapan tamu.
Seharusnya
Paulo menyesal telah mengajaknya waktu itu. Cuma tiga hari di Vallegrande, Gio
sudah merebut total hati Chaska. Paulo memang tetap dianggap anak, tapi anak
tiri.
Di sisi
lain, Gio juga kecipratan sial, karena ancaman-ancaman yang dulu jadi jatah
Paulo kini menjadi jatahnya. Dan ia juga sudah kecanduan empanadas saltenas
buatan Chaska.
Di terminal,
Chaska menjemput dengan truk biru uzurnya, yang menggilasi jalan penuh percaya
diri. "Qhari wawa!! Anakku!!" teriaknya sambil mendekap kuat-kuat
hingga Gio terbatuk kecil.
Tinggi Chaska
cuma sedagunya, dengan badan satu setengah kali lebih lebar. Kekuatan pelukan
itu tak bisa diremehkan.
"Como estas, mi hijo? Kamu sehat-sehat?"
"Lebih sehat begitu sampai di sini, Mamd,"
jawab Gio sambil menghabiskan sisa batuknya.
"Kapan kamu menikah? Mama-mu ini sudah kepingin
jadi nenek." Gio terbahak lepas.
Tidak di
Indonesia, tidak di Bolivia, ia selalu dikejar-kejar pertanyaan sama, hingga
lama-lama terdengar seperti lelucon di kupingnya. Hanya saja, orang tuanya
sudah menyerah bertahun-tahun yang lalu. Lain dengan Chaska yang terlalu keras
kepala untuk jadi jera. Setiap kali mereka bertemu, itu selalu menjadi
pertanyaan kedua Chaska setelah 'apa kabar'.
"Pacar saya ogah diajak menikah cepat-cepat,
Mamd. Dia perempuan modern," tangkisnya santai.
“Ah! Tinggalkan saja kalau begitu! Banyak senorita
cantik di sini!"
dumel Chaska sambil menyalakan mesin mobil. Roknya yang
bertumpuk—membuat ukuran badannya seakan dua kali lebih besar—semakin
merepotkannya untuk masuk ke belakang kemudi.
"Kamu terlalu banyak melamun di pinggir sungai
Chawpi Tuta," lanjutnya. "Kamu jadi terlalu romantis, gampang dibohongi
perempuan."
Dalam volume
rendah yang diperuntukkan bagi telinganya sendiri, Gio terkekeh. Paulo yang
pertama kali memberinya julukan itu: Chawpi Tuta. Midnight Mist. Karena, tak
ada yang dapat menariknya pergi bila sudah duduk diam memandangi kabut malam
menciumi wajah sungai. Barangkali, kecintaan itulah yang dilihat seorang
pemandu tua di tepian Sungai Yuat, Papua Nugini, dua belas tahun lalu, saat Gio
menghadiahi dirinya sendiri arung jeram kelas 5 pertama di luar Indonesia.
Tepat pada hari
ulang tahunnya yang ke-18, laki-laki itu mendatanginya dan berkata: Hidupmu ada
di urat Bumi. Selalu kembali ke buih.
Detik berikut,
sorot mata Gio membentur peta yang ia genggam dan seketika pula dirinya
mengerti. Sejak itu, tak pernah berhenti ia mengendarai buih, menyusuri
urat-urat Bumi. Lewat kayuhan dayung, atau terawangan mata belaka, tak ada
bedanya. Sungai menjadi jalan pulangnya ke rumah tak bcrwadak. tapi ia selalu
tahu di mana harus mengetuk pintu.
Perjalanannya
ke Bolivia kali ini merupakan kala keenam Gio mengunjungi Rio Tuichi, tepat
dalam jantung Taman Nasional Madidi yang melingkup dari Andes sampai Amazon.
Setelah
bertolak dari Desa San Jose de Uchupiamonas nan senyap, ia pun masih memilih
tinggal dulu di Rurrenabaque, demi menatapi gulungan kabut pekat yang mencium
wajah sungai pada malam hari. Lenyap dalam serat udara yang tersisir larik-larik
sinar bulan.
Ia bisa duduk
di tepi sungai berjam-jam lamanya. Tersenyum. Entah pada siapa. Pada satu malam
dingin tanpa angin di Vallegrande, Chaska pernah berbisik padanya, sungai yang
diarungi membuat seseorang bertambah kuat, tapi sungai yang dipandangi cumaakan
melemahkan hati.
Dan Gio
melakukan kedua-duanya lama sering. Saat itu, Chaska sedang menganalisa sebab musabab
kisah cinta Gio yang dianggapnya membingungkan. Dengan sederhana dan tak banyak
tanya, bertahun-tahun Gio mencintai satu orang yang sama. Diarunginya perasaan
itu tanpa lelah seperti menaklukkan jeram-jeram.
Namun orang yang
dicintainya hadir serupa kabut. Hubungan yang tak pernah beranjak ke mana-mana.
Ada dan tiada seperti kabut malam yang tak tergenggam. Dan entah kenapa, Gio
selalu memilih untuk tetap memandangi. Merapuh dengan sukarela. Chaska tak pernah
mengerti itu.
"Chicha, senor?" Gio tersentak.
Seorang pria
dengan montera—sejenis topi kain—merah menyala tahu-tahu menyorongkannya
chicha. Setengah wajahnya tertutup bayangan topinya sendiri. Sekilas hanya
tampak segaris tipis bibir kecokelatan dan deretan gigi depan yang putih. "Gracias,"
Gio menyambut dan langsung menenggak. Pria itu tersenyum puas melihat
suguhannya disambut baik.
"Hatimu memang sedang berduka, senor. Tapi kita
tetap harus menikmati hidup! Ha-ha-ha!" ia tertawa.
Gio ikut tertawa. "Ha-ha-ha . . . pero esfoy
bien. Saya baik-baik saja, kok," timpalnya sedikit bingung.
"Vale, vale," pria itu mengangguk-angguk,
seolah memaklumi Gio yang sudah kedapatan berbohong.
"Kehilangan seseorang yang kita cinta memang
tidak pernah gampang," lanjutnya lagi.
Gio berhenti
minum. "Perdon? Mo dice? Lo siento, senor, tapi saya tidak mengerti
—"
'Tidak perlu mengerti," laki-laki itu menyela
lebih gesit,
"kamu hanya perlu tahu." Dengan gerakan
cepat, ia menenggak tandas chica di tangannya. Kepalanya menoleh ke belakang seolah
memastikan sesuatu dan terburu-buru ia berkata,
"Akan ada yang membantumu. Orang-orang yang tidak
kamu kenal. Mereka sejenis dengan yang hilang. Mereka berempat. Satu akan
berangkat dan mungkin tidak kembali. Tapi, kamu tidak perlu mengerti . . .
." Ke tangan Gio tiba-tiba dijejalkan sesuatu.
" . . . kamu hanya perlu tahu," ulangnya
lagi. Dan kalimatnya terhenti begitu terdengar seseorang berteriak memanggil
nama Gio. Gio refleks memutar punggung. Dari kejauhan dilihatnya Chaska sedang
menyeruak kerumunan orang di pinggir jalan.
"Gio! GIO!" perempuan itu memanggil-manggil
panik. Keras suaranya menembus kegaduhan musik.
Bergegas Gio
menghampiri, tapi sejenak berbalik untuk menahan pria tadi. Napasnyalah yang
jadi tertahan.
Pria itu
lenyap! Gio mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Montera merah menyala itu
tak terlihat di mana-mana, menguap hilang bagai embun pagi yang dilalap
matahari. Dunia pun berbalik dalam hitungan detik. Degup jantungnya mengencang.
Perasaannya berubah tak enak.
Gio menyongsong
Chaska yang ngos-ngosan, "Mamd! Ada apa?"
"Paulo . . . dia tadi telepon, es urgente.
Sangat-sangat penting, katanya. Lebih baik kamu pulang sekarang, sepuluh menit
lagi dia mau telepon balik. Cepat. Bawa mobilku. Nanti saya menyusul."
"Si,"
Gio sigap
berlari. Diketap-ketipkan matanya sekuat tenaga, mengusir bayangan montera
merah menyala yang tak kunjung tanggal.
Di depan
pesawat telepon, ia terduduk resah. Perjalanan dari pusat kota ke rumah Chaska
ditempuhnya hanya dalam waktu lima menit, dan sisa lima menit menuju dering teleponnya
Paulo benar-benar menyiksa. Kakinya bergoyang-goyang tanpa henti sejak tadi.
Di telapak
tangannya yang terbuka, berbaris empat batu licin dengan bentuk bundar pipih
sebesar tapak ibu jari, warnanya abu kehitaman. Pria ber-montera tadi
menyerahkannya dalam bungkusan kain belacu. Di tiap batu terdapat ukiran kasar
yang berbeda-beda. Seperti dibuat terburu-buru. Gio tak bisa memahami satupun
artinya: ukiran di empat batu, maupun hari aneh ini. Dering telepon
berkumandang. Membekukan segalanya.
Gio
tercenung. Aneh. Tadi ia tidak sabar menunggu telepon berbunyi, tapi kini malah
ragu mengangkat. Perasaan cemas menyisip. Perasaan tidak siap. Lima kali
telepon itu dibiarkan berdering sampai tangannya tergerak mengangkat gagangnya,
"/l/d . . . ," sapanya ragu.
"Alo! Gio?" Suara Paulo di ujung sana.
"Paulo! Como estds, mi amigos?" Gio menyapa
hangat.
Berusaha menyamarkan gentar yang mengintai dalam
suaranya.
"Bien, gracias," balas Paulo. Nada bicaranya
seketika menurun. "Gio, saya sudah berusaha menghubungi kamu sejak
seminggu yang lalu."
"Saya sedang di Madidi. Hantu pun tidak bisa
menghubungiku di sana," Gio tertawa kecil. Hambar.
"Lo se. Baru tadi pagi saya terpikir untuk
mengontak mi Mama, dan benar saja, kamu mampir ke Vallegrande . . . ,"
terdengar embusan napas lega.
"Ibumu bilang ada yang sangat penting." Lama
tak terdengar jawaban. Paulo hanya menelan ludah berkali-kali, mengusap-usap
muka galaunya.
"Paulo, . . . estds bien?"
“saya baik-baik saja. Tapi, ini bukan tentang saya.
“Tu amiga . . . ." Paulo berhenti sejenak, berat
sekali mengatakannya.
"Tu amiga, senorita Anastasia . . . ."
"Diva?" Gio memotong cepat. Berharap ada
seseorang bernama belakang Anastasia lain yang ia kenal. Dan bukan Diva.
"Si."
"Kenapa dengan Diva?"
"Kami terakhir bertemu sebulanan yang lalu di
Cuzco, setelah dia pulang dari Machu Picchu. Diva cerita, dia akan ikut satu
tim ekspedisi Israel yang mau menyusuri Rio Tambopata sampai Candamo.
Kesempatan langka, memang. Baru untuk kedua kalinya ada tim ekspedisi turun ke
Tambopata. Diva merasa beruntung. Katanya, itu tempat yang tepat kalau ingin menghilang
dari muka Bumi. Saya pikir dia main-main . . . atau memang betul itu cuma
bercanda, no se, tapi . . . ." Hening lagi.
Paulo seperti
mengumpulkan kekuatan di seberang sana. Dan Gio tak tergerak untuk mendesak,
sabar menunggu tanpa mengeluarkan sepotong pun kata. Tak juga gumaman-gumaman
pendek tanda mendengarkan. Hanya harapan cerita itu tak perlu berlanjut.
"Satu hari, Diva bersikeras ingin pergi jungle
walking sendirian. Mereka sudah memperingatkannya, Gio. Tapi Diva tetap pergi
juga, katanya cuma mau menyisir bagian luar . . . ."
Suara Paulo kian menurun, "Mereka—menghubungiku seminggu
yang lalu. Perusahaan sponsor tim ekspedisi itu. Mereka kembali ke Cuzco tanpa
Diva. Dia—hilang."
Sekejap
pandangan Gio menghampa. Pikirannya menembus ruang waktu. Menuju hamparan
permukaan sungai hening dan gumpalan kabut yang tak tergenggam.
Di sela-sela rajutan molekul udara,
melayanglah sebuah benda berwarna merah menyala. Mendekat . . . semakin dekat .
. . begitu dekat, hingga matanya seakan dipulas darah merah.
Paulo terus berbicara, "Gio, dengar, mereka sudah
berusaha. Bertahan di sana sampai dua puluh hari, lewat seminggu dari jadwal.
Karena benar-benar sudah tidak ada suplai makanan, mereka terpaksa kembali ke
Cuzco. Tidak ada pilihan. Kamu tahu persis keadaan di sana seperti apa."
Dan dalam keprihatinan bercampur rasa takjub yang tak
mampu disembunyikan, Paulo melanjutkan,
"Diva . . . , dia lenyap begitu saja. Seperti—"
"—seperti kabut," desis Gio.
Paulo terdiam. "Lamento mucho oir eso."
Akhirnya, hanya sesal yang sanggup terucap.
"Tunggu saya di Cuzco. Saya berangkat hari ini
juga." Gio menutup telepon. Duduk dan diam. Namun Bumi di bawah kakinya
seolah memekar tanpa tepi, mengacaukan semua peta, semua yang ia tahu, dan
dirinya menjadi sangat kecil. Tak berdaya.
Dibukanya lagi
telapak tangan yang menggenggam empat batu kehitaman. Empat tanda tanya tanpa
jawaban. Minha sol . . . Gio memanggil pelan. Pada kegelapan.
Dengan
hati-hati, tiket pesawat ke Cuzco diselipkannya ke kantong ransel. Gio berhenti
sesaat. Ekor matanya menangkap Chaska yang tengah membuang pandangan jauh ke
jendela. Wajah itu muram.
"Mama, saya akan baik-baik saja," ucap Gio
pelan.
Chaska tersenyum tawar. "Kamu tidak perlu bicara
begitu. Semua orang yang mau pergi selalu ngomong hal sama, mereka akan
baik-baik saja, padahal tidak ada yang tahu. Senorita Anastasia juga pasti
bilang begitu padamu dulu."
"Anggap saja saya pergi berenang ke sungai
sebelah. Mamd tinggal nangkring di teras depan sambil pegang sapu buat gebuk
pantat," celoteh Gio dengan nada Jenaka.
"Saya, juga Paulo, bakalan pulang dan
mengobrak-abrik rumah ini."
Chaska tak
bereaksi. Hanya menatap Gio lama. Asing. "Aku harus mengatakan sesuatu . .
. ," bisiknya. Gio sungguh hafal gaya berbisik itu. Cara Chaska setiap
kali hendak mengatakan sesuatu yang menoreh batin.
"Dua belas tahun yang lalu, aku pernah diberi
mimpi-mimpi aneh. Selalu sama setiap malam. Dan seminggu sebelum kamu sampai di
sini, mimpi itu datang lagi . . . ," Chaska bertutur.
Pelan, mengeja,
dan semua kata terdengar jelas walau lirih. Gio tertegun. Meletakkan lagi
ransel yang sudah menempel di bahu.
"Kegelapan, Chawpi Tuta . . .," suara Chaska
bergetar.
Kalimatnya
menggantung di sana. Perempuan itu mengerjapngerjapkan mata, mengusap rambutnya
yang terkepang panjang dengan gugup, lalu kembali membuang pandangan ke
jendela.
"Kegelapan,
maksudnya?" Chaska menoleh. Gerakan yang terlampau mendadak.
Sesuatu menumpangi bola mata cokelat itu. Sesuatu yang
tak pernah Gio lihat sebelumnya.
"Kegelapan itu hidup. Dia punya wajah . . . aku
tak bisa menggambarkan seperti apa, mi hijo. Tapi dia bisa menyedotmu pergi,
dan kamu tidak akan pernah kembali lagi," Chaska berkata tersendat.
"Saya masih belum mengerti—"
"Suamiku, Juancho, meninggal dua belas tahun yang
lalu. Kamu tahu itu, kan?" potong Chaska. "Dua belas tahun, Chawpi Tuta,
aku tidak pernah memimpikan kegelapan. Baru sekarang aku mengalaminya
lagi."
Gio membuang
napas panjang. Berusaha mengenyahkan rasa ngeri yang mendesir masuk ke aliran
darahnya. "Tapi, saya tetap harus pergi, Mamd. Saya tidak punya pilihan
lain," ia bergumam.
"Lo se, lo se," Chaska memanggut, kembali memunggungi
Gio, dan memandang entah apa di luar sana.
Namun ia
seperti lelah. Perlahan, ransel yang bersandar di kaki dipungutnya dan disandangkan
ke bahu. Gio mengelap mukanya seakan ingin menghapus sesuatu yang tak ia suka.
Gio tidak suka hari ini. Bisakah ia kembali ke hari kemarin, saat Bumi masih
bertepi dan dirinya masih lengkap oleh orang-orang yang ia sayangi?
"Aku sering berpikir, kegelapan adalah kematian.
Dan itu membuatku takut," Chaska kembali berbisik.
"Tapi aku juga berharap, kegelapan dalam mimpiku
adalah tempat menyenangkan, yang bisa memberi kita damai. Jadi, biarpun Juancho
tidak kembali, aku tahu ia berada di tempat yang lebih baik."
"Saya akan kembali," tegas Gio.
Serta meria,
Chaska membalikkan badan.
"Aku tidak yakin, mi hijo, aku bermimpi untuk
diriku sendiri atau—untukmu. Jadi, kalau kekasihmu tidak pulang, barangkali
pikiran tadi bisa membantu." Pelan, perempuan itu maju menghampiri Gio. Bisikannya
terdengar seperti sepoi angin,
"Karena aku juga tidak yakin, kamu bisa
menjemputnya keluar dari kegelapan." Gio terkesiap. Suara Chaska
berbayang. Seakan mengalir dari dua muara. Bahkan ia jadi enggan mendongak,
takut berjumpa sesuatu tak dikenal di mata perempuan yang sudah ia anggap ibu
sendiri. Mengapa segalanya menjadi begitu asing?
Tangan Chaska
pun tertumpang, menggenggam tangannya. Terasa hangat. Kembali akrab.
"Manakuiki kanmanta. Doaku bersamamu."
“Sumaq risuchun . . . ," akhirnya Gio mendongak,
"selamat tinggal."
-Selesai -

Tidak ada komentar:
Posting Komentar