HANYA ISYARAT
Entah
hijau, entah coklat muda. Belum pernah kulihat bola mata berwana hijau, jadi
tidak bisa terlalu yakin. Dan tempat ini didesain dengan penerangan yang buruk.
Remang yang malah tidak romantis. Remang yang membuat segalanya tidak jelas.
Namun hanya tempat ini yang masih buka.Hiburan yang tersedia adalah tayangan
pertandingan sepak bola dini hari dari televisi 14 inci dan kumandang lagu
disko era satu dekade silam serta kerlap-kerlip bohlam warna-warni yang
sebaiknya jangan dilihat lebih dari satu menit karena membuat mata sakit.
Tinggal
empat manusia yang tersisa, dan satu diantaranya. Karenanya aku bertahan.
Satu-satunya betina yang menguapkan feromon di sekumpulan makhluk jantan.
Secara alamiah tak mungkin aku dilewatkan. Namun mereka malas menggubris karena
tidak pernah ada pembicaraan menarik keluar dari mulutku sejak hari pertama
kami semua berkenalan. Sementara aku tetap menyandang status “kenalan“, mereka
sudah menjadi tiga serangkai - sahabat temporer yang dikondisikan waktu dan tempat.
Aku merasa tidak rugi. Yang menarik dari mereka hanyalah dia. Dan dia bukanlah
pembicaraan. Dia adalah tujuan. Tujuan bertahan.
Satu
diantara mereka menghampiri meja bar, meminta lampu warna-warni itu dimatikan.
Rupanya mereka tidak lagi tahan. Cuma aku yang tidak terganggu. Kelap-kelip itu
menjadikanku semacam latar yang kadang menyerupai manusia kadang bukan. Dan
dalam keraguan orang akan merasa lebih baik diam. Kehadiranku jadi tidak perlu
dikonfirmasi. Aku butuh lampu-lampu itu.
Satu
diantara mereka sampai berteriak senang begitu sakelar lampu dipadamkan. Yang
tersisa tinggallah sinar rembulan dan lampu berkekuatan kecil yang menyerupai
penerangan lilin. Malam mendadak manis. Tempat itu mendadak romantis. Aku tidak
suka.
Tanpa
sengaja dia menoleh ke arahku. Mereka tidak bisa lagi menghindar. Aku pun tidak
bisa lagi menyamar menjadi latar. Sebuah kursi didekatkan ke meja mereka, dan
dia mempersilakan aku duduk. Dia, yang paling kucari. Tapi tidak dalam jarak
seperti ini.
Kursi kami yang berdempetan membuat
tempurung lutut kami bersinggungan. Andai ada pintu masuk disitu, akan
kuselundupkan setengah bahkan tiga perempat jiwaku untuk merasukinya, untuk
membaca pikirannya, memata-matai perasaannya. Cukup seperempat saja jiwaku
berjaga di meja itu, untuk tersenyum sopan, tertawa kecil, dan merespon ‘oh’
atau ‘oooh’ atas percakapan apa pun.
“Kami
sedang melakukan satu permainan“, dia menjelaskan. “Bertukar cerita paling
sedih,” temannya menambahkan, “yang terpilih jadi juara akan mendapatkan . . .
ini”. Sebuah botol bir yang masih utuh digeser ke pusat meja.
Cepat
kujelaskan bahwa aku tidak minum bir sehingga tidak perlu ikut berlomba. Cepat
pula mereka melontarkan ide baru, bahwa bagi yang tidak minum bir akan
disediakan hadiah lain, yakni kesempatan untuk memilih siapa pun untuk melakuan
apa pun dan tidak boleh ditolak. Ide itu disambut baik. Bahkan ide bir sebagai
hadiah utama dilengserkan.
Satu demi
satu bercerita. Kisah putus cinta, kisah kehilangan teman, dan kisah bencana
alam. Tiba gilirannya. Dia berkisah tentang cahaya. Dia pernah mati suri, dan
dalam tidurnya ia melihat padang hijau, lalu cahaya besar. Namun di saat cahaya
itu hendak merengkuhnya, ia justru terbangun. Semua orang yang saat itu
menungguinya terbaring koma tentu saja bergembira. Tapi ia tidak. Hatinya
bahkan patah. Ia menemukan cinta sejati dalam sebuah cahaya entah apa, yang
cuma bisa ditemui saat mati suri atau mati betulan. Pertemuan yang teramat
mahal. Akhirnya dia memutuskan untuk jadi pertapa di abad modern, menjadi
manusia yang mengatasi cinta insani dan berjuang untuk mrnghikmati cinta ilahi.
Demi kembali menemukan cahaya itu, tanpa perlu tunggu koma atau ko’it.
Ketiga
temannya termenung. Sulit berempati pada kisahnya. Aku juga termenung.
“Giliran
kamu”, suaranya memecah kesunyian. Kepalanya menoleh ke arahku, matanya menatap
mataku. Cepat aku menatap bulan yang lebih mudah dihadapi.
Sejenak
aku teringat botol bir yang berembun tadi, aku teringat trotoar tempat kami
berjalan dan kakinya yang kubiarkan melangkah beberapa meter di depan, aku
teringat siluet punggungnya yang menghadap panggung di bar yang kami kunjungi
sebelum ini,aku teringat kehidupanku beberapa hari yang lalu sebelum bertemu
dengannya, aku teringat ke mana aku harus kembali setelah malam ini, dan ke
mana ia pergi nanti.
Aku
mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu
menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak
menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi ke pasar untuk membeli
bagian punggungnya saja. Hanya itu yang mampu ibunya beli. Sahabatku pun
beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung. Ia
tidak tahu ada paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi
yang ia punya tentanga ayam.
Mereka
semua senyap, lalu memandangiku. Mereka tidak menduga kata-kata sebanyak itu
meluncur keluar dari orang yang selama ini mereka kira arca. Dan betapa gemas
mereka menanti lanjutan cerita tentang punggung ayam di negeri orang.
Aku
meghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di
bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas
punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan
kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang
lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang
yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan.
Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau
sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.
“Sahabat
saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu
ada bagian yang lain. Ia hanya mengetahui apa yang ia sanggup miliki. Saya adalah
orang yang paling bersedih, karena saya tidak mengetahui apa yang tidak sanggup
saya miliki”. Kusudahi kisahku seraya menyambar botol bir yang tidak lagi jadi
piala dan mendadak terlihat sanagat menarik.
Mereka
semua berpandang-pandangan, mencari sang juara. Aku menunduk dan memilih tidak
ikut serta. Tahunan tidak mengecap alkohol, bir ini menjadi lebih dahsyat dari
semua kisah sedih tadi.
Tiba-tiba
kudengar mereka bertepuk tangan. Dia bahkan menyalamiku. Kisahku dinobatkan
jadi juara, dan kini saatnya menentukan hadiah yang kumau. Siapa dan melakukan
apa. Mereka begitu bersemangat menunggu titah dari mulutku yang ternyata penuh
kejutan. Untuk pertama kalinya aku menjadi bagian dari mereka, sekelompok
sahabat temporer yang bertemu di satu tempat asing dan kelak hanya akan berkim
surat elektronik. Namun bukan itu yang kucari. Aku hanya ingin kembali ke
tempatku, di belakang sana. Menikmati apa yang kusanggup, Bukan di meja ini,
bukan di sebelahnya, bukan bersentuhan dengan kakinya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar