Dus karton
yang sudah ditunggu tiga minggu lamanya tiba juga di depan pintu. Lelaki itu
mendesah, lebih mirip ekspresi gugup ketimbang puas. Sebuah surat menghampar
paling atas sebagai pelapis, bertulis tangan koleganya di benua Australia sana:
Selamat
berkarya, selamat bekerja!
Pameran
lukisanmu dijamin akan lanjut ke Eropa.
PS. Ada ide
menarik apa di balik ‘fluorescence’?
Ia sendirian di depan pintu. Namun tangannya
bergegas melipat surat itu seolah takut ada yang melihat. Pertanyaan temannya
menghantam bagai empasan benda raksasa di tengah aula besar kesendiriannya,
bunyinya terlalu pekak dan gaungnya terlalu panjang. Ia ingin esok cepat tiba
dan ia cepat lupa.
Lelaki itu datang ke sana sesuai janji,
menenteng dua dus karton. Satu tampak rapi dan masih berbekas segel dari
perusahaan shipping asing. Satu lagi sudah terbuka, ringsek, digunakan untuk
mewadahi alat-alat lukis.
Kedatangannya disambut hangat oleh dua orang
yang senantiasa berpelukan mesra, bahkan saat menerima tamu di pintu. Mereka,
calon suami-istri yang sudah akan sehidup semati itu, masih saling berangkulan
terlebih dahulu sebelum merangkulnya. Menjadikannya bertanya-tanya, akankah
dirinya juga begitu jika perempuan itu jadi miliknya? Bisa jadi ia berhenti
menerima tamu, menjadikan rumahnya planet bertamengkan lapisan mahapanas yang
menggesek semua tamu hingga mereka sudah musnah duluan jadi debu sebelum sempat
mengetuk pintu. Dan istrinya tak perlu tahu debu apa itu yang dilapnya setiap
pagi.
“Sekali lagi, terima kasih untuk hadiah ini.
Sungguh suatu kehormatan.”
Perempuan itu tak bisa menyusutkan beludak
kegembiraan dari wajahnya, kepala menunduk tersipu seolah berbicara dengan
sesosok idola, kalimatnya baku dan kaku seakan lupa bahwa pria itulah sahabat
terdekat calon suaminya, yang kelak menjadi wali baptis dari anak-anaknya, dan
menjadi bagian kekal dari keluarga barunya. Pria itu, pelukis favoritnya, akan
tergolong dalam kategori “bukan siapa-siapa”. Namun perempuan itu masih terlalu
takjub untuk mencerna.
Beberapa detik mata lelaki itu tidak
berkedip, menatap wajah tersipu yang berkilau dipapar mentari pagi. Untung ia
segera tersadar, mengalihkan pandangan sambil menduga-duga apakah tatapannya
tadi tertangkap oleh sahabatnya. Sungguh ia ingin hari ini cepat lewat dan
mereka semua cepat lupa.
Lelaki itu diantar ke sebuah ruangan luas
tanpa furnitur dengan keempat bidang dinding yang masih bersih polos. Sebuah
studio yang khusus dipersembahkan sahabatnya untuk sang calon istri yang hobi
melukis.
Sesuai permintaan, lelaki itu lalu
ditinggalkan sendirian. Ia mulai bekerja. Hati-hati, dikeluarkannya
kaleng-kaleng cat yang sudah dipesan khusus untuk sebuah proyek yang sekali
untuk selamanya tu. Hadiah pernikahan bagi mempelai perempuan. Ia berjanji melukisi
dinding studio barunya. Sahabatnya bilang, calon istrinya itu hampir pingsan
saat diberi tahu. “Bagaimana tidak,” katanya, “gara-gara lihat lukisanmu dia
terinspirasi jadi pelukis. Tahu-tahu kamu mau melukis khusus untuk dia.”
Sahabatnya itu seorang kurator. Satu hari saat
pameran tunggalnya berlangsung, sahabatnya memperkenalkan seorang perempuan
yang konon mengagumi lukisannya mati-matian. “Jatuh cinta pada pandangan
pertama, kedua dan seterusnya sampai mati,” perempuan itu dengan lucu dan polos
mendeskripsikan kekaguman atas karya-karyanya.
Lelaki itu mengulang kalimat persis sama dalam
hati. Matanya ingin mengekalkan apa yang ia lihat, hatinya ingin mengkristalkan
apa yang ia rasa. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua dan seterusnya sampai
mati.
Tak lama, sahabatnya mengaku kalau perempuan
yang dikenalkannya tadi baru saja resmi ia pacari. Pengumuman itu seperti
tombol set ulang yang menggagalkan seluruh rangkaian kejadian sebelumnya.
Pelukis itu pun patah hati pada pandangan pertama, kedua dan seterusnya
moga-moga, ia berharap tidak sampai mati.
Lelaki itu kemudian mulai melukis, sampai
lewat tengah malam, hingga tertidur lelah di lantai studio. Namun ada kelegaan
luar biasa yang tak bisa ditakarnya, melampaui kemampuan rangkum nada atau
kata, surat cinta atau kidung cinta, bahkan rencana sehidup semati. Dalam
studio itu, akhirnya ia mengetahui apa yang ia inginkan. Bahagia dengan satu
kejujuran. Kemudian berserah dalam ketakberdayaan. Ia bahkan tidur sambil
tersenyum.
Mengendap-endap, perempuan itu membuka pintu
studionya sendiri seperti seorang pencuri yang takut tertangkap. Manusia paling
berbakat dalam daftarnya tengah berupacara di dalam situ, memerawani ruangan
lukisnya dengan sapuan tangan ajaib yang patut disambut riuh tepuk tangan. Mana
mungkin momen bersejarah ini ia lewatkan.
Lampu di studio masih menyala benderang.
Perempuan itu melongok, memutar lehernya ke berbagai arah untuk meninjau
dinding yang seharusnya sudah jadi lukisan spektakuler. Namun bidang-bidang besar
itu tampak bersih. Matanya memicing tanda tidak terima. Kakinya lanjut
melangkah hingga berdirilah ia di pusat ruangan, matanya terus mencari. Lambat
laun, sehamparan pola halus menyeruak muncul, mengapung ke permukaan dinding.
Dan ketika pandangannya mulai terfokus, hamparan itu tahu-tahu menyesaki
ruangan, bagai air bah yang menerjangnya sekaligus tanpa diduga.
Terdengar bunyi sakelar lampu dimatikan.
Studio itu sontak gulita. Namun paa detik yang sama, ia merasa dikepung
larik-larik sinar menyilaukan. Matanya kembali memicing, mengadaptasi kondisi
dramatis tadi, sekaligus mulai berpikir….. cicak? Napasnya tertahan. Ratusan
cicak berpendar, menyelimuti empat bidang dinding dan langit-langit.
Membungkusnya dalam takjub dan tanda tanya.
Satu sosok manusia terasa berjalan mendekati.
Pandangannya berubah hitam, pertanda manusia itu berdiri sangat dekat di
hadapan. Embusan udara hangat meniupi wajahnya. Perempuan itu merasa gamang.
Pijakannya hilang keseimbangan. Dan saat itu juga tubuhnya diraih oleh tangan-tangan
ajaib yang telah melukisi dinding hatinya dengan decak kagum. Tangan yang sama
terasa halus saat menyapu pipinya, gemetar saat menyibak anak rambutnya seperti
pencuri yang takut tertangkap. Dan segalanya terlalu dekat hingga terasa mereka
sedang bertukar udara.
Tubuh mereka melekat, lengan mereka saling
mengikat, dan ke telinga perempuan itu dibisikkanlah satu kalimat: “Kutitipkan
mereka untuk menjaga kamu….. mengagumi kamu.”
Lalu napas hangat itu hilang, lengan itu
meregang, dan tak lama kemudian ruangan itu kembali benderang. Lelaki itu
meraih dus ringsek yang dibawanya tadi pagi, meninggalkan dus berisi
kaleng-kaleng cat yang sudah kosong, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Perempuan itu mematung di tengah ruangan.
Akalnya mencerna menit-menit terakhir yang telah mengobrak-abrik hatinya menadi
tempat asing. Bahkan bagi dirinya sendiri. Langkah kakinya gamang mencari
hatinya yang lama, yang tadi mengendap masuk ke ruangan tanpa mengharapkan
apa-apa selain sebuah upacara peresmian.
Nyaris hilang kseimbangan, tubuhnya mencari
sandaran pada dinding, menempel tepat di atas kotak plastik berkenop bulat.
Hatinya ditemukan. Tapi tak lagi sama. Tak ubahnya dinding yang tampak polos
saat terang namun berubah menjadi rimba semarak saat gelap datang.
Jarinya masih bergetar tatkala mematikan
sakelar. Ingin ia nikmati lagi, decak-decak kagum yang menghujaninya dari
berbagai sudut. Hanya dalam gelap mereka beroleh kejelasan. Cicak-cicak di
dinding. Diam-diam merayap. Hatinyalah nyamuk, yang…….
Hap! selamanya tertangkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar