Pesan ini akan tiba padamu, entah dengan cara apa. Bahasa yang
ku tahu kini hanyalah perasaan.
Aku memandangimu tanpa
perlu menatap.
Aku mendengarmu tanpa
perlu alat.
Aku menemuimu tanpa
perlu hadir.
Aku mencintaimu tanpa
perlu apa-apa, karena kini ku miliki segalanya.
Ku pandangi langkahmu yang ringan dan tampak seperti melayang,
berjalan dengan irama konstan. Engkau tak seperti orang yang berjalan di atas
pasir, yang kebanyakan tampak berat dan canggung. Barangkali karena telah
ratusan kali kau lakukan itu; menyendiri di tepi pantai, menyusuri garisnya
seperti merunut urat laut. Tapak kakimu sudah tahu bagaimana bersahabat dengan
pasir yang kadang menggembung dan kadang mengempis dimainkan napas ombak.
Matamu mencari bola merah yang disembunyikan arakan awan
mendung.
Sesekali kau buang
pandangan ke arah lain, sekedar meyakinkan kau tak sendiri di dunia ini, karena
seringnya engkau berharap demikian. Sesekali pula kau buang pandangan ke
belahan langit di bahu kananmu, yang berwarna-warni antara ungu, biru, dan
abu-abu, yang menggetarkanmu sama hebatnya dengan bola merah yang kau telisik
sejak tadi.
Pesanku itu akan tiba
padamu, batinku. Namun entah dengan cara apa.
Seseorang tampak
berlari menyusulmu, meneriakkan namamu keras-keras hingga kau tak punya pilihan
lain selain menoleh. Seketika wajahmu berubah, rona yang ku hafal dan tak ku
sangka akan kembali lagi. Aku ingin meneriakkan bahagia ini, tapi entah dengan
cara apa. Perlahan ku lihat awan mendung bergeser, menyeruakkan mentari yang kau
cari. Dan ku lihat engkau kian berseri. Senjamu kian sempurna. Dia, yang kau
cinta, tampak berkilau disiram cahaya jingga.
Kalian berdua
menghambur, mendekat erat satu sama lain hingga kakimu melayang di udara. Rasa
hangat ketika dua tubuh bertemu, rasa lengkap ketika dua jiwa mendekat, rasa
rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata menatap. Aku merasakannya. Entah
mengapa aku bisa.
Lelaki itu bertanya,
kapan engkau pulang. Ia sudah menyiapkan makan malam, lengkap dengan lilin
aromaterapi dan servis relaksasi melalui jemarinya yang apik. Matamu berbinar,
memantulkan semburat jingga di langit dan semburat cinta di langit hatimu.
Namun kepalamu menggeleng dan kau berkata: sebentar lagi. Kau masih ingin di
sana, menunggu hingga senja tamat ditutup malam. Lelaki itu mengangguk mantap.
Ia tahu ke mana hatimu berlabuh, dan ke mana sesekali hatimu berlayar. Ia
menengadah ke atas untuk menemukan bulan pucat yang sejenak lagi benderang dan
menyinari langkahmu pulang. Ia lalu berbalik setelah mengecupmu di kening.
Kau menunggu punggungnya kabur dari pandangan sebelum kembali
melanjutkan langkah-langkahmu di atas pasir. Perjalananmu di batas dua dunia.
Cerah senja di kiri da redup malam di kanan. Dan aku memandangi sapuan ombak
yang menghapus segala jejak, kecuali milikmu karena tinggal kau yang terus
melangkah. Tak ada jejakku di sampingmu. Tak ada siapa-siapa. Namun aku merasa
kita melangkah bersama. Entah bagaimana bisa begitu.
Sudah jarang ku lihat
kau menangis, tapi matamu terus bertanya. bahasaku yang cuma rasa susah melekat
pada kata, tapi aku tahu apa yang kau tanya, dan aku tahu apa jawabannya.
Tinggal cara yang masih menjaga rahasia.
Di titik yang selalu
sama, tempat karang kecil yang menggunduk sedemikian rupa hingga pas diduduki
satu orang saja, langkahmu berhenti. Kau duduk menghadap lautan, memandangi
gumpalan-gumpalan awan yang seolah disedot horizon. Napasmu mulai teratur, dan
dudukmu mulai kaku seperti orang sembahyang. Seperti ingin selaras dengan ombak
yang kian pasang, napasmu kian panjang, hingga di satu titik berubah memburu.
Terjadi gemuruh di
lautan hatimu. Tiba-tiba kau melorot dari karang itu, tersungkur menghujam
pasir. Punggungmu berguncang.
Aku tahu apa yang
terjadi, aku tahu apa yang kau tangiskan, aku tahu apa yang bisa menghiburmu,
tapi cara itu masih jadi rahasia. Lalu kau berlari menuju ombak, membawa
perasaan seberagam langit saat senja; antara duka, murka, dan cinta yang entah
harus dibuang ke mana. Saat itu kau ingin bergabung dengan rombongan awan yang
terhipnotis masuk ke dalam rekahan ufuk barat. Dan berenang saat laut pasang
mendadak menjadi pilihan yang masuk akal bagimu.
Ingin rasanya aku ikut
berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkeram bahumu agar kau tahu aku ada
di sini.
Namun bahasaku tinggal
rasa. Dan entah bagaimana caranya agar rasa bisa bersuara jika raga tak lagi
ada.
Aku hanya ingin merengkuhmu. Adakah engkau tahu? Aku ada.
Setahun sudah sejak
kau mencatat tanggal kepergianku, dan memang aku tak pernah kembali dalam
bentuk yang kau harapkan.
Namun adakah engkau
tahu? Aku masih ada.
Meski mendapatkanmu
seperti lawatan ke museum tempat segala keindahan dikurung etalase kaca hingga
berlapis saat disentuh, aku tetap merasa utuh.
Percayakah kamu? Aku
selalu ada.
Ke dalam perasaan inilah
engkau akan bermuara, ke dalam perasaan inilah engkau akan pulang dan bertemu
aku lagi. Dan perasaan itu dapat engkau nikmati sekarang, di dalam hati.
Tanpa perlu mati.
Sekarang.
Dengarkah kamu? Aku
ada. Aku masih ada. Aku selalu ada.
Rasakan aku, sebut
namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian melebur,
meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk
menyapamu.
Kayuhanmu tahu-tahu
terhenti. Sudah jauh engkau berenang meninggalkan pantai, basah kuyup dan
megap-megap. Namun tiba-tiba kau tergerak untuk diam, merasakan ombak yang
dengan aneh mengembalikanmu mundur. Semakin kuat kau mengayuh, kau malah
semakin mundur ke pasir tempat kau tadi melangkah. Perlahan kau berdiri,
menatap laut dengan tatapan asing seolah itu pertemuan kalian yang pertama
kali.
Setengah mati kau lawan lautan untuk mencari jawab atas
amarahmu pada kematian, dan dengan sabar bagai ibunda menimang anaknya yang
meraung murka agar kembali tenang, lautan mengembalikanmu kembali ke tepiannya.
Seolah berkata, belum saatnya.
Tempatmu di sana.
Kembaliah ke pasir tempat jejak-jejakmu tersimpan, kembali padanya yang
menantimu dengan senyum sayang.
Seberaneka warna langit
senja, muncul aneka ekspresi pada mukamu. Matamu berkaca-kaca, bibirmu
tersenyum, lalu kau mulai menangis sambil tertawa. Aku tahu apa yang kau
sadari, aku tahu apa yang kau syukuri, dan kini aku tahu cara berbicara
denganmu.
Pesan ini akhirnya
tiba. Saat pasir tempatmu berpijak pergi ditelan ombak, akulah lautan yang
memeluk pantaimu erat. Akulah langit beragam warna yang mengasihimu lewat
beragam cara. Engkau hanya perlu merasa dan biarkan alam berbicara.
Air matamu bercampur dengan jejak air laut. Tawa cerahmu
bercampur dengan sengguk tangis. Namun matamu tak lagi bertanya-tanya. Hari ini
engkau akan pulang untuk makan malam, bercinta dengan yang kau cinta ditemani
cahaya dan wangi lilin aromaterapi.
Engkau tersenyum dengan segenap jiwamu,
karena hari ini kita sama-sama mengetahui satu rahasia: cinta adalah aku, cinta
adalah engkau, cinta adalah dia, dan cinta tak pernah mati.
Sekalipun jasadku sudah tak ada.
Dengan mulut setengah
dibekap, kau membisikkan satu kata yang pernah menjadi namaku.
Kali ini kau tidak mengucapkannya seperti perpisahan, bukan
juga perumpaan, melainkan sebuah kesadaran.
Rahasia kecil kita berdua : aku tahu engkau tahu aku ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar